Minggu, 15 Januari 2012

Kencan Tuli Bag. 3 - Selesai


KRIIIIIIIING....! Bunyi bel pulang berbunyi nyaring, seketika itu pula para murid beranjak dari tempat duduk masing-masing dan berjalan ke pintu keluar. Satu hari lagi telah berlalu di kehidupan SMA gue, satu hari yang secara mengejutkan terasa mendebarkan. Gue mengambil tas lalu berjalan cepat menuju pintu kelas. Tidak seperti biasanya, gue jadi orang pertama yang meninggalkan kelas. Gue langsung jalan ke parkiran, setelah motor siap, gue pun melaju meninggalkan sekolah. Gue akuin, gue emang belum siap buat menghadapi Sherly, terlebih karena bayangan kencan kemarin yang gagal masih segar dalam ingatan, saat ini gue pengen hindarin dia dulu untuk sementara, sebenarnya sampai saat yang tidak ditentukan sih.

Tujuan gue saat ini bukan pulang ke rumah, tapi ke tempat nongkrong waktu gue SMP, letaknya beberapa puluh meter dari gedung SMP gue, adalah sebuah warung dengan pos ronda di seberangnya. Di pos ronda itulah dulu hampir setiap hari gue sama temen-temen gue menghabiskan waktu sepulang sekolah. Sampai saat ini pun beberapa temen gue masih suka ke sini sepulang sekolah, sedangkan yang lain hanya hari-hari tertentu main ke sini, termasuk gue, yang sebulan terakhir sangat jarang main ke sini. Saat ini pun, gue ke sini, karena butuh tempat pelarian, sekaligus menenangkan pikiran gue yang agak tertekan belakangan ini.

Ketika gue sampe, di atas pos ronda sudah ada 2 orang temen gue, yang bernama Dul dan Joni. Mereka sedang bermain kartu, gue sapa mereka lalu gue ikut dalam permainan. Beberapa menit kemudian, seorang temen gue lagi datang, seorang cewek bernama Maria, dia cewek yang tomboy, gak heran dia lebih seneng ngumpul bareng cowok. Lalu dia pun bergabung dalam permainan, obrolan kita berempat masih seputar tentang SMA masing-masing, karena kita semua masuk ke SMA yang berbeda-beda. Obrolan kita berempat masih berlanjut sampai Maria dengan setengah teriak berkata, “Eh, liat tuh! Bukannya itu Tito ya?! Dia bonceng cewek lhooo!”, seketika pandangan gue, Dul, sama Joni mengarah ke seberang jalan namun masih agak jauh, di sana memang terlihat Tito, di atas motornya, dan dia memang sedang membonceng cewek, kenapa hal ini menjadi heboh adalah, karena Tito adalah cowok yang agak pemalu untuk urusan cewek. Maka dari itu saat ini terdengar kegaduhan dari pos ronda, Maria, Dul dan Joni bersiul-siul beriringan, gue masih menatap cewek yang dibonceng Tito, yang memang cukup cantik-eh tunggu, kok kayaknya gue kenal…oh, tidak, itu Sherly!

Mampus gue! Gue lupa Tito juga kadang suka main ke sini, dan dia juga tau rumah gue. Pasti Sherly minta tolong dia anter ke rumah gue terus begitu tau gue belum pulang jadi dia bawa ke sini, aduh Tito, lo sungguh jenius banget! Karena syok akan pemandangan yang gue liat, gue diem mematung, sementara ketiga temen gue masih bersiul ria. Kemudian gue liat Tito turun dari motor lalu dia berjalan menuju pos ronda, sementara Sherly tetap duduk di motor Tito. Begitu Tito sampai di depan pos ronda dia berkata ke gue, “Ji, gue yakin lo sama Sherly punya masalah yang perlu diselesain, mending lo omongin sekarang.”, Tito berkata dengan raut muka serius, karena itu pula ketiga temen gue yang tadinya berisik langsung diam. “Iya..oke men..” kata gue lemes, lalu beranjak dari duduk gue. May God saves my ears!

Gue pun berjalan ke arah Sherly, dalam hati gue merasa panik dan tertekan, namun semua keraguan itu gue kalahin dengan pikiran kalo ini memang harus diselesaikan, dan sebagai cowok pun gue harus bertanggung jawab atas perlakuan gue ke dia. Maka dari itu gue harus siap, harus terpaksa siap. Sherly menatap gue yang berjalan semakin dekat dengan tatapan marah. Begitu gue sampai di depan dia, gue lalu menyapanya, “Ha..hallo..Sherly,” suara gue bergetar takut, namun setelah gue menyapanya Sherly malah terisak, lalu menutup wajahnya dengan kedua tangannya. “Oh great, now she’s crying.” kata gue dalam hati. Menangis adalah senjata para wanita untuk meluluhkan hati pria, dan sayangnya, gue adalah tipe pria yang lemah akan tangisan wanita, seandainya para wanita itu menyatakan cintanya ke gue sambil menangis, pasti gue gak kuat dan akan menerimanya. But luckily, Sherly kemudian mengangkat wajahnya, lalu kembali menatap gue, matanya agak memerah karena menahan tangis barusan.

“Lo tega…” kata Sherly sambil terisak. Sementara gue, mengambil langkah mini untuk mundur beberapa centimeter, untuk meminimalisir rasa merinding yang gue rasain, pengen rasanya menutup telinga, tapi kayaknya gue masih cukup kuat bertahan. “Gue tau kok kenapa lo begini…” Sherly kembali berkata, dia menatap gue, “Gue tau suara gue mungkin sedikit aneh untuk suara cewek,”, “Mungkin? Sedikit? Ayolah, lo sedang menyiksa gue sekarang!” pikir gue. “Tapi belum pernah gue diperlakuin begini sama cowok!” kata Sherly setengah teriak, yang menyebabkan bulu roma gue kembali berdiri tegang, gue berusaha sebisa mungkin mempertahankan kesadaran. “Sher, gue juga punya alesan…” kata gue berusaha membela diri, tetapi langsung dipotongnya. “DIEM! Lo tau gak sih penderitaan gue?” kata Sherly sambil terisak. “Gara-gara punya suara begini, gue jadi susah dapet cowok, gue juga mau punya pacar! Selama ini gue selalu terbuka ke tiap cowok, walaupun gue tau pada akhirnya mereka bakal ilfill sama suara gue...”. Gue masih diem mematung, sambil merasakan sensasi dari mendengar suaranya. Kasihan sekali Sherly, gue berpikir mau memberikan nomor telepon Babeh, tapi mengencani satpam sekolah kayaknya hanya akan bikin dia tambah tertekan. Jadi gue urungkan niat gue.

Sherly diam sebentar mengambil nafas, lalu berkata, “Tapi cuma lo yang sebegini tega sama gue!”. Dia menatap gue, lalu kembali menutup wajahnya. “Sher…makanya dengerin dulu…gue juga punya alesan kok!”. Sherly masih terisak menutupi wajahnya. Sementara gue, sebisa mungkin ngejelasin semuanya, dari gimana obsesi gue sama suara cewek, kencan buta, dan tentu saja efek dari mendengar suara dia buat gue. “…makanya itu Sher, gue gak kuat denger suara lo, karena itu juga tingkah gue jadi aneh begini, suara lo itu gimana ya..dahsyat pokoknya-eh, maksudnya, tadi lo bilang sendiri kan kalo selama ini cuma gue cowok yang sampe begini ngehadapin lo? Ya emang begitu adanya, kalo cowok lain mungkin lebih tahan dibanding gue, jadi reaksi mereka pun gak berlebihan!” jelas gue. Sherly kemudian mengangkat wajahnya, lalu menatap gue. “Serius?” katanya. “Serius Sherrr!” kata gue sambil merinding. “Lo itu cantik kok, gue yakin pasti bakal ada cowok yang bisa bener-bener cinta sama lo apa adanya, tapi orang itu bukan gue.” kata gue berusaha merayunya. Sherly masih menatap gue, keadaan menjadi sunyi beberapa detik, lalu senyum pun mengembang di wajahnya, kemudian sambil menyeka pipinya yang basah, dia bertanya, “Hmph, oke deh, jadi?”, “Ya, jadi gue minta maaf deh karena udah nyakitin hati lo, maafin gue ya?” gue berkata sambil mengiba, “Tapi kalo lo masih ada rasa kesel lo boleh tampar gue.” tambah gue bercanda. “Serius? tanya Sherly. “Serius apa?”, “Serius boleh nampar lo?”, “I..ii..iya, eh, emangnya lo masih kesel sama gue?”, Sherly tertawa sinis, “Hmm, gak juga sih! Tapi dari dulu gue selalu pengen nampar tiap cowok yang udah bikin gue kecewa. Jadi, boleh kan?” kata Sherly sambil mendekatkan wajahnya ke wajah gue. Sementara perasaan merinding masih melanda tubuh gue sejak tadi, gue pengen percakapan ini segera selesai, namun masih ada satu hal lagi, gara-gara ucapan bodoh tadi, gue harus ngerasain tamparan Sherly. Seperti apa ya rasanya? Yah, karena dia cewek, mungkin gak bakal terlalu sakit. “Hm, iya boleh..silakan…” kata gue sambil menegapkan badan.

CELEPAAKKKK!

Telapak tangan Sherly mendarat keras di pipi kanan gue. “Ugh, dasar cewek bersuara aneh, bahkan suara tamparannya pun aneh!” pikir gue dalem hati. Gue jatuh terduduk di tanah, tak diduga ternyata tamparan Sherly keras juga, sebuah pelajaran baru buat gue, jangan pernah menganggap remeh kemarahan cewek, ternyata tamparannya menyakitkan, aduh pipiku!

Belum sempet gue bangun, gue denger suara langkah kaki di belakang gue, lalu gue denger suara cowok, “Ji? Ini temen lo ya? Eh, kenapa lo ditampar dia?”. Gue nengok, ternyata yang berbicara barusan adalah temen SMP gue yang bernama Marlon, kayaknya dia datang ke sini pas selagi gue ngomong sama Sherly. “Gapapa Lon, emang gue yang minta. Iya, ini temen SMA gue…” kata gue sambil mengelus pipi gue yang memerah sehabis ditampar. “Wah, cantik juga!” kata Marlon. “Cantik sih cantik, tunggu sampe dia bersuara!” kata gue dalam hati. Sherly hanya diam memperhatikan gue sama Marlon dari dekat. Lalu Marlon menghampiri Sherly sampai dia berdiri di sebelahnya, lalu berkata, “Hai! Hmm, boleh kenalan kan?”, Sherly menjawab dengan mengangguk. “Nama gue Marlon” kata Marlon sambil menyodorkan tangannya. “Hm, gue Sherly” balas Sherly sambil sedikit memelankan suaranya, lalu menjabat tangan Marlon. “Eh, sorry, siapa?” kata Marlon, nampaknya dia tidak mendengar Sherly karena suaranya yang pelan, lalu dia menyodorkan telinganya. “Oh, tidak!” teriak gue dalam hati. Marlon akan mendapat pukulan telak, tepat di depan telinganya! “NAMA GUE SHERLY” jawab Sherly dengan suara yang dikeraskan, dia jawab tepat di depan telinga Marlon. Sementara gue, gue menutup kedua kuping gue dengan tangan, dan gue pun memejamkan mata. Gue gak tau apa yang akan terjadi dengan Marlon. May God saves his ears!

“Oh Sherly, nama yang bagus! Salam kenal ya! Ngomong-ngomong, suara kamu indah ya!” kata Marlon. Mendengar hal itu gue langsung membuka mata, lalu teriak sekencang-kencangnya dalam hati, “HAH!? SERIUS LO!?”, di wajah gue tergambar raut ekspresi kaget, Sherly pun juga sama, gue yakin dalam hatinya dia juga teriak, “HAH!? SERIUS LO!?” tetapi dengan suara dia yang aneh tentunya. Keadaan menjadi sunyi selama beberapa detik, gue sama Sherly masih dalam ekspresi kaget, sementara Marlon diam bingung. Hingga akhirnya Sherly menjawab, “Ehm, ya makasih…”.

“Jadi lo temen satu sekolah si Cozy?” kata Marlon melanjutkan pembicaraan. Sebelum gue merinding lagi, gue langsung bangun dari duduk gue dan berjalan menuju ke pos tempat Tito dan yang lain berada. Selagi melangkah gue berpikir tentang kata-kata Marlon tadi, apa dia bilang begitu untuk jaga perasaan Sherly? Atau dia memanfaatkan kesempatan tadi untuk bisa merayunya? Gue nengok ke belakang, mereka berdua sedang terlibat dalam percakapan seru. Sherly tersenyum, mungkin ini pertama kalinya ada cowok seusianya yang mau terlibat percakapan selama ini dengannya. Marlon pun begitu, tidak terlihat kepura-puraan dalam ekspresinya, jangan-jangan ada yang salah dengan pendengarannya?

Begitu sampai di pos ronda, gue langsung menghampiri Tito yang sedang bermain kartu dengan Maria, Dul dan Joni. “To, lo tau kan si Sherly itu, suara dia?”, “Tau, kenapa emang?” tanya Tito. “Tuh lo liat si Marlon,” kata gue sambil menunjuk, “Kok bisa-bisanya dia tahan ngobrol sama Sherly?” tanya gue bingung. “Wah, ternyata sukses!” kata Maria. “Hah? Sukses apanya?” tanya gue tambah bingung. “Lo sih gak pernah main ke sini sebulan terakhir.” kata si Dul, “Iyee,” si Joni menambahkan. Gue terlihat makin bingung sebelum Tito akhirnya menjelaskan, “Begini Ji, si Marlon itu, sejak SMP emang udah punya masalah sama pendengarannya, ternyata makin ke sini makin parah, jadi sekitar 3 minggu yang lalu dia operasi tuh telinganya, gak tau deh diapain, yang jelas, pendengarannya emang berbeda dari kita-kita, apa yang kita denger, belum tentu kedenger sama di kuping dia.”, “Iya, terus..” Maria menambahkan, “Tadi si Tito cerita masalah lo berdua ke kita, terus kebetulan si Marlon dateng, jadi kita suruh kenalan aja sama temen lo itu, ternyata bisa klop tuh!” pungkas Maria sambil menunjuk ke arah Marlon dan Sherly yang masih asik bercakap-cakap. “Oalah, jadi begitu toh!” kata gue bersyukur sambil menepuk jidat. Lalu gue pun ikut bergabung ke permainan kartu.

Yah, setiap orang memang sudah ditakdirkan akan memiliki seseorang sebagai sosok yang paling mengerti dirinya. Gue lega karena masalah gue sama Sherly sudah selesai, juga lega karena dia akhirnya bisa nemu mungkin satu-satunya cowok yang ‘pas’ buat dia, yaitu Marlon. Eh, tapi tunggu, gue kan tokoh utama cerita ini, kok malah temen gue yang berhasil dapet cewek!? Yah, itu berarti pencarian gue belum berakhir, gue masih akan mengulik melodi yang tepat buat hati gue. Cinta itu buta, seperti banyak orang bilang, tapi Cinta juga tuli, jika kata-kata dari mulut gak cukup, maka hati yang akan berbicara dan hati yang akan mendengar. Tapi yang jelas gue gak mau ngelakuin Kencan Tuli lagi, satu Sherly sudah cukup!

Minggu, 08 Januari 2012

Kencan Tuli Bag. 2

"Hai, Cozy! Gak lama kan nunggu gue? Eh, salam kenal yaaa!" Sherly tersenyum sambil menyodorkan tangannya. Senyumnya sangat manis, sangat tidak diragukan lagi. Tapi ada satu hal yang..euh, yang membuat senyumnya terasa hambar. Gue berdiri sambil dirundung rasa syok, agaknya gue merinding. "Cozy? Lo kenapa?" Sherly terlihat bingung. Gue sadar dan langsung jawab, "Eh, ga apa-apa kok," gue sambar tangannya, setelah berjabat tangan kita berdua pun duduk.

Setelah duduk, gue masih merasa merinding, badan gue agak sedikit gemetar. Ini merupakan yang kedua kalinya gue mendengar sesuatu yang menggetarkan jiwa dan mengaburkan kesadaran, waktu itu gue ngedenger suara tawa banci ketika gue lagi berhenti di lampu merah, suara tawa nge-bass cowok dipaksain biar mirip suara cewek, hasilnya? Bayangin sendiri.

Sekarang telinga gue ngerasain yang namanya Déjà vu. Ya, suaranya Sherly sangat diluar harapan gue, suaranya..sangat aneh untuk ukuran suara cewek pada umumnya, suaranya..tidak seperti suara cewek namun juga tidak seperti suara cowok. Ahh, sulit jelasinnya! Yang jelas gue merinding dengernya, penampilan sempurna Sherly nampaknya tidak membantu.

Gue liat Sherly di seberang meja, dia nampak bingung dengan tingkah laku gue. "Oh, God, what should i do?" Waktu gue denger suara banci di lampu merah, efeknya gue langsung tancap gas dan menerobos lampu merah. Dan sepertinya hal itu akan terulang, kayaknya gue gak akan kuat denger suara dia lagi ketika dia ngomong nanti, kayaknya gue bakal menerobos lampu merah dengan meninggalkan dia di sini. Sungguh tidak gentle, gue akan mengecewakan dia malam ini, bahkan bisa membuatnya marah. Maafkan gue Sherly, tapi saat ini telinga di atas akal sehat.

Sherly masih terlihat bingung, sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu tapi jadi agak ragu karena ngeliat tingkah laku gue. Keadaan menjadi agak rancu selama beberapa saat, kita berdua jadi sama-sama salah tingkah, beberapa kali kulihat Sherly baru mau mengucapkan sesuatu namun lalu mengurungkan niatnya. Gue melempar pandangan gue ke sekeliling sambil sesekali mengintip ke arah Sherly. Suara obrolan pengunjung lain dan dentang sendok dan piring mereka sedikit bisa bikin gue tenang, namun akhirnya, ‘itu’ pun terdengar lagi. “Cozy? Eh, lo kenapa sih?” tanya Sherly cemas, yang justru membuat hal semakin buruk. Mendengar suaranya bikin gue tambah syok, gue makin salah tingkah, keringat dingin mengucur dari kening gue hingga membasahi leher. “Cozy, lo lagi gak enak badan ya?” tanya Sherly lagi.

“Sekali lagi gue denger suara dia kayaknya gue bakal teriak” panik gue dalam hati, yang kemudian terjadi sesaat kemudian. “Cozy, kalo lo….”, “STOP!” kata gue setengah teriak sambil mengacungkan telapak tangan gue ke arah Sherly. Dia kaget dan bingung, tapi malah kembali bersuara. “Lo ken….”, “AAAAAAAAAAHHH!!!” tanpa gue sadari, gue teriak histeris. Lalu tanpa aba-aba apapun, gue langsung beranjak dari kursi gue dan langsung lari ke arah pintu keluar kafe. Gue bisa ngerasain semua pasang mata yang ada di kafe malam itu ngeliatin gue dengan tatapan heran, terutama Sherly yang menatap gue dengan tatapan heran plus kaget. Namun apa daya, saat ini rasanya otak gue pindah ke kuping yang bikin gue mikir untuk segera pergi menyelamatkan diri.

Gue masih tetap berlari setelah berhasil keluar dari kafe, gue lari tanpa tujuan, yang penting gue udah cukup jauh untuk bisa bikin gue merasa aman. Satu hal lagi tentang kencan buta adalah, selain sama-sama tidak tahu rupa pasangan kencan kita kelak, adalah sekaligus tidak tahu jenis kendaraan yang mereka pakai. Sherly gak tau kalo gue ke kafe naik motor, bahkan dia gak tau yang mana motor gue. Jadi fokus gue sekarang adalah menunggu, lalu beberapa saat kemudian kembali ke kafe sambil mengendap-ngendap mengintip ke arah parkiran kafe.

Gue duduk di trotoar sambil memikirkan yang baru saja terjadi. “Oh, Sherly! Maafkan gue, seandainya lo gak berbunyi seperti itu, mungkin lo adalah yang sempurna buat gue!” sesal gue dalam hati. Lalu lamunan gue dikagetkan oleh bunyi dering handphone gue, yang benar ternyata adalah Sherly yang menelpon, namun karena syok akan mendengar suaranya lagi kalo gue angkat, jadi langsung gue reject dan gue matiin handphone gue. “Oh God, what a girl whom I just met!”.

Sekitar setengah jam kemudian, gue memutuskan untuk kembali ke kafe. Lalu saat keadaan parkiran sepi, gue langsung berjalan cepat untuk menjemput motor gue. Beberapa saat kemudian gue udah memacu motor gue dengan kecepatan sedang, langsung menuju ke rumah! Begitu sampai di rumah, gue langsung ke kamar lalu mencoba untuk tidur, padahal hari belum terlalu larut. Namun hal yang terjadi hari ini adalah pengalaman yang menggetarkan jiwa, rasanya energi di otak gue udah terkuras abis buat mencerna apa yang udah gue denger. Gue harap begitu gue bangun nanti gue udah lupa semua yang terjadi hari ini. Tapi malam itu gue malah bermimpi buruk, gue mimpi Sherly adalah seorang penyanyi, dan dengan suaranya, dia mengadakan konser selama 3 jam penuh, dan gue adalah satu-satunya penonton yang hadir!

Hari Minggu pagi sekali, gue udah bangun. Gue merasa seger banget, kayaknya gue udah lupa sama kejadian semalem. Gue langsung beranjak dari tempat tidur, lalu mengambil handphone yang masih tertidur. Begitu gue nyalain, gue kaget karena ada 5 pesan yang masuk secara bersamaan, dan secara bersamaan dengan itu pula ingatan gue akan semalem kembali jelas. “Oh, tidak..Sherly…” gumam gue. Lalu gue baca sms-nya satu-persatu dengan perasaan gundah karena telah mengecewakan seorang wanita. “Cozy! Lo tega banget sih ninggalin gue! Balik lagi dooong, kenapa sihh? L”, lalu pesan berikutnya berbunyi, “Sumpah lo tega banget sama gue! Tau gak apa yang paling tega dari lo?! Gue harus bayar Wedang Jahe yang udah lo pesen, huh! L”, Oh God, gue lupa kalo gue udah sempet mesen minuman sebelum dia datang. Lalu salah satu pesan lainnya berbunyi, “Pokoknya gue mau minta penjelasan! Bales sms gue! Kalo gak pas hari Senin gue samperin ke kelas lo! L”.

“…hari Senin gue samperin ke kelas lo!” adalah kalimat terburuk yang gue baca hari ini, padahal hari masih jam 5 pagi, dan masih menyisakan 19 jam. Tapi bayangan akan mendengar suara Sherly keesokan harinya cukup bikin gue terpukul di hari yang masih belia ini. Alhasil, gue menjalani hari Minggu yang cerah dengan perasaan gundah gulana, dengan pikiran gue terus melayang ke apa yang akan terjadi esok hari. Lalu kenapa gak gue jelasin aja semuanya lewat sms? Gue pikir, gue udah ngelewatin batas dari seorang cowok dengan ninggalin pasangan kencannya di saat kencan pertama pula, sungguh tidak gentle, dan gue gak mau ketidak-gentle-an gue berlanjut, maka dari itu gue putusin untuk bicara langsung dengannya esok hari. Dengan catatan saat itu gue udah siap untuk denger suaranya lagi, walaupun gue gak bisa jamin akan hal ini.

Keesokan harinya, kehidupan SMA yang biasanya gue rasa membosankan, berubah drastis menjadi menegangkan. Gue ngerasa kayak nyawa gue sedang terancam, ibarat dalam film psikopat, gue adalah tokoh utama yang diincar untuk dibunuh, dan Sherly adalah psikopat-nya, dia akan membunuh gue dengan menyanyikan lagu Nina Bobo tepat di depan kuping gue, dan kalo dia berhasil, gue akan tidur untuk selamanya!

Tanpa gue sadari, gue jadi sering melamun hari ini, semuanya tentang Sherly, dan beberapa berubah jadi lamunan dengan skenario aneh. Pelajaran kedua sudah hampir berakhir dan setelah ini adalah waktu istirahat. Gue jadi ngerasa was-was, gue takut Sherly akan langsung ke kelas gue begitu bunyi bel istirahat berbunyi-oke, kayaknya gue emang belum dan gak bakal siap buat denger suaranya lagi, bahkan rasa ke-gentle-an gue pun ikut bersembunyi dari rasa takut itu. Jadi gue putusin buat kabur, gue akan ijin ke toilet 1 menit sebelum waktu istirahat, setelah itu gue akan sembunyi sampai waktu istirahat abis. Brilian.

“Tumben lu istirahat main ke sini, Ji?” tanya Babeh, satpam sekolah. “Iye Beh, lagi mau irit duit, makanya gak ke kantin.” jawab gue. Sebenarnya nama satpam sekolah gue bukan Babeh, namun panggilan Babeh nampaknya sudah menjadi panggilan universal untuk tiap satpam sekolah, dan semua anak memang memanggilnya dengan panggilan begitu. Bahkan satpam sekolah gue waktu SMP pun dipanggil Babeh, ajaib memang. Namun Babeh yang ada di SMA gue sekarang adalah seorang yang sebenernya belum terlalu tua, sekitar awal 30-an, gak terlalu cocok dipanggil Babeh menurut gue, mungkin lebih cocok dipanggil Mas, selain karena dia orang Jawa, juga karena ‘katanya’ dia masih single…ehm, anyway! Jadi saat ini gue lagi ‘ngumpet’ di pos satpam sekolah gue, hal yang sebenernya lebih biasa gue lakuin setelah pulang sekolah, untuk sembunyi dari beberapa temen cewek gue yang agresif dengan mau ngajak gue pulang bareng atau bahkan ngajak jalan. Oleh karena itu juga, gue sama Babeh jadi cukup akrab.

“Beh,” panggil gue. “Nape, Ji?” jawab Babeh dengan logat Betawi yang dia dapet karena lama tinggal di Jakarta, “Lo kenal cewek anak 1.10 gak, namanya Sherly?” tanya gue. “Ooh, neng Sherly,” gue liat raut muka Babeh berubah, lalu dia menaruh puntung rokoknya yang masih menyala lalu berkata, “Iye gue kenal, cakep orangnye, tapi sayang…”, “Sayang kenapa Beh?” potong gue. “Yah, sayang…” kata Babeh, “Cakep-cakep tapi suaranya begitu, Babeh jadi inget temen Babeh di kampung yang kerjaannya jadi pengamen bencong di lampu merah.” Aha! Tuh, lo denger gak? Berarti bukan kuping gue doang yang ngerasa, bahkan sampe Babeh juga. Uh, malangnya Sherly! “Tapi kalo dia naksir sama Babeh mah,” Babeh melanjutkan pembicaraan. “Babeh mau-mau aja, hahaha”, “Lah, emang gak jadi masalah denger suaranya yang begitu?” tanya gue bingung. “Nih tong, gue ajarin ye, dalem cinta tuh ye, ada yang namanya ‘mau menerima apa adanya’, kadangkala, rasa cinta yang kite rase bisa ngalahin kekurangan yang ada di dalem pasangan kite, jadi jangan selalu nilai orang dari kelebihannya aje!” kata Babeh berwibawa. “Ah, elu Beh, sok puitis!” kata gue. Walaupun gue berkata begitu, dalam hati sebenernya gue agak tersinggung, tapi sekaligus sadar dan setuju. Mungkin suatu saat akan ada seorang pria yang sangat jatuh cinta sama Sherly, rasa cintanya sangat tebal dan akan berwujud earphone yang akan menyaring suara Sherly hingga menjadi terdengar indah. Akankah pria itu adalah gue? Hmm, maybe, but it’s still hard to imagine.

Beberapa menit kemudian bel masuk istirahat berbunyi, lalu setelah berterima kasih sama Babeh akan petuah bijaknya, gue pun pamit balik ke kelas. Begitu ngelewatin pintu kelas, salah seorang temen gue yang duduk di barisan depan berkata, “Eh, Ji, tadi ada anak kelas sebelah nyariin lo, cewek, tadi dia sempet nunggu beberapa menit di depan kelas, tapi karena waktu istirahat abis jadi dia balik ke kelasnya.”. Duh, apa yang harus gue lakuin?

Bersambung

Minggu, 01 Januari 2012

Kencan Tuli Bag. 1


Suatu hari, di suatu SMA di Jakarta.

KRIIIIIIIING....! Bunyi bel pulang berbunyi nyaring, seketika itu pula para murid beranjak dari tempat duduk masing-masing dan berjalan ke pintu keluar. Satu hari lagi telah berlalu di kehidupan SMA gue, satu hari yang sayangnya tidak berkesan. Gue mengambil tas lalu berjalan gontai menuju pintu kelas. "Aahhh, what a boring day!", pikir gue dalam hati. "Gue pikir kehidupan SMA bakal menyenangkan, ternyata gak lebih ngebosenin dari jaman SMP, huh!" racau batin gue. Udah beberapa hari gue kepikiran hal itu terus, gue ngerasa bosen ngejalanin ini semua, gue butuh sesuatu yang mampu mewarnai hidup gue agar lebih cerah untuk dijalani, dan agaknya gue tau penyebabnya, dan karena itu pula gue bela-belain masuk ke SMA ini, SMA yang terkenal karena rumor kualitas murid ceweknya yang cantik-cantik.

Yap, gue akuin yang udah bikin gue galau belakangan ini karena gue belum mampu menemukan bidadari di sekolah ini, gue haus akan kasih sayang, gue haus akan belaian wanita! Oke, gue positif lebay. Tapi gak salah dong, seorang pria diumur yang masih belia dan sedang dalam masa pertumbuhan...hmm, anyway! Jadi inti permasalahannya adalah, kenapa gue gak bisa menemukan bidadari di sekolahannya bidadari?

Sebenarnya rumor itu benar kok, sekolah ini surganya bidadari berseragam SMA, di kelas gue aja hampir semua ceweknya cantik-cantik, hanya saja gue butuh yang lebih dari sekedar cantik-oh ya, gue udah berkicau sebanyak ini tapi belum sempat mengenalkan diri, nama gue Cozy, umur gue 15 tahun, dan cewek idaman gue adalah..hmm, cewek dengan suara yang bagus! Bagus bukan berarti harus penyanyi lho, buat gue suara cewek ketika nyanyi dan ngomong biasa itu beda, kalo suaranya bagus ketika nyanyi, itu emang karena dia sedang nyanyi, alhasil suara yang dihasilkan merupakan hasil olah vokal yang dilakukan di pita suaranya. Berbeda dengan suara ketika ngomong biasa, suara yang dihasilkan akan lebih natural jadi lebih mudah diketahui apakah suaranya bagus atau tidak.

Setidaknya gue punya kriteria sendiri dalam menilai tiap suara cewek, buat gue cewek dibedakan dari jenis suaranya, ada yang bersuara cantik, imut, anggun, merdu, adem, indah, lembut dan lain-lain. Ketika ketemu cewek, hal yang pertama yang gue nilai bukanlah penampilan dia, atau wajah dia, buat gue yang paling berkesan dari seorang cewek adalah suaranya. Gue sangat menunggu-nunggu saat dimana gue merasa jatuh cinta pada pendengaran pertama, duh!

Oke, gue emang punya kelainan dalam selera gue terhadap cewek, kelainan itu pula yang menghambat keinginan gue untuk segera punya cewek. Di kelas gue sekarang, kelas 1.9, gue gak bisa menemukan cewek dengan melodi yang tepat buat hati gue, temen sekelas gue cantik-cantik tapi bukan itu yang gue cari kan? Apa? Lo bilang gue sok ganteng? Ehem, sebenernya bukan gue sok ganteng, tapi gue emang ganteng kok, buktinya diantara cewek-cewek sekelas, walaupun mereka gue deketin cuma buat lebih mengenal suaranya tapi kemudian malah mereka yang agresif, bahkan beberapa udah nembak gue.

Kehidupan SMA gue udah berjalan 2 bulan, kayaknya gue harus cari lahan baru, gue udah selesai investigasi cewek-cewek di kelas gue sendiri. "Ini dia, mulai besok, no, mulai saat ini gue harus bergerilya ke kelas lain!" teriak gue dalam hati, tiba-tiba gue merasa mendapat pencerahan, gue melihat seberkas cahaya diujung jalan, yang sebenarnya adalah cahaya matahari yang masuk melalui pintu kelas.

Gue langsung mempercepat langkah gue menuju pintu kelas. Sesaat gue keluar kelas, sesosok cewek sedang berjalan di depan pintu kelas gue. Seorang cewek berkulit putih dengan rambut hitam panjang terurai, wajahnya yang kecil dan berbentuk oval sangat cocok dengan posturnya yang bisa dibilang pendek. Gue ngeliat dia, dia ngeliat gue. Lalu dia tersenyum dan gue bales senyumnya dia. Lalu dia tetap berjalan terus sepanjang koridor. Pandangan gue terus mengikuti dia sampai dia hilang dari pandangan. "Dia manis juga." nilai gue dalam hati. "Dan di atas semua itu, dia dari kelas lain, oke, udah gue tetapkan kalo dia yang bakal jadi inceran gua selanjutnya!" hati gue serasa mendapat pencerahan bertubi-tubi, Oh what a day! Kayaknya gue harus menarik lagi kata-kata gue, hari ini akan menjadi hari yang berkesan!

"Pertama-tama, harus cari tau dulu dia dari kelas mana." gue berdiri di depan kelas sambil berpikir. Keadaan saat ini sudah cukup sepi karena gue orang terakhir yang keluar dari kelas, selain itu karena letak kelas gue yang diujung koridor. "Pasti dia dari kelas 1.10! Soalnya itu satu-satunya kelas yang terletak setelah kelas gue. Oke, let's see, gue punya kenalan siapa ya di 1.10..ah!". Di depan gue lewat 4 orang cowok, 1 orangnya gue kenal, namanya Tito, dia temen gue waktu SMP, and the best part is, dia anak 1.10. "Ahhh, To! Kebetulan banget! Gue mau nanya sesuatu," gue tarik tangannya Tito lalu dia berdiri di sebelah gue, dia memasang tampang heran. "Sorry men, duluan aje, entar gua nyusul." si Tito berkata ke temen-temennya, lalu setelah temennya agak menjauh, "Kenapa Ji?".

"Gue mau nanya," kata gue berapi-api, "Temen sekelas lo, cewek, namanya siapa?", "Yang mana?" balas Tito bingung. "Yang itu, yang..rambutnya panjang!", sahut gue masih dengan berapi-api. "...yang rambutnya panjang banyak." jawab Tito dengan tatapan skeptis, abis itu gue baru nyadar kalo gue udah nanya pertanyaan yang minim petunjuk. "Sini ikut gue!" gue tarik tangannya Tito biar ngikutin gue. Baru beberapa menit berlalu semenjak acara tukar senyum gue dengan cewek itu, pasti dia masih di lingkungan sekolah.

Langkah kita berdua berhenti di depan ruang guru, lalu gue menunjuk ke arah pintu gerbang sekolah. "Tuh! Yang itu", gue lihat raut muka Tito berubah, "Ooh dia, dia namanya Sherly, kenapa emangnya? Lo naksir ya?". Gue tersenyum mendengar tebakannya tepat, "Hehe, tadi gue abis tuker senyum sama dia di depan kelas, agaknya gue tertarik sama dia, lo punya nomer handphone dia gak?", Tito terlihat agak berpikir sebentar lalu menjawab, "Hmm, ada sih..tapi dia itu..eh, kalo lo tertarik kenapa gak langsung samperin aja sekarang? Kayak yang lo biasa lakuin.", "No no no my friend, sekarang waktunya gak tepat, tuh lo liat, dia lagi sama temen-temennya, lagian dia udah siap-siap mau pulang, gue lebih suka segala sesuatu yang lebih terencana untuk urusan begini!", "Yaah whatever," jawab Tito dengan muka tak acuh, "Yaudah, nih lo catet nomer handphone dia," Tito menyodorkan layar handphone-nya. Setelah mendapatkan cukup informasi dan tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Tito, gue langsung buru-buru pulang.

Sesampainya gue di rumah, gue langsung ke kamar gue, lalu merebahkan badan di kasur. Gue ambil handphone, sambil gue tatap nomor kontak yang baru aja bergabung di memory handphone gue. Pandangan gue tertuju ke nama sang pemilik nomor, "Sherly..nama yang indah..semoga suaranya juga seindah namanya." kata gue sok puitis. "Oke! Jadi rencananya begini," gue bangun dan duduk di kasur sambil bersandar ke tembok. "Besok hari Sabtu, sekolah libur, otomatis gue gak bisa ngeharapin buat ketemu di sekolah, hmm.." gue diem sebentar untuk berpikir. "Kalo gue langsung ngajak dia ketemuan, sekaligus kencan..mau gak yah dia? Yah, satu-satunya cara biar tau gue harus tanya dia!" gue langsung ngambil handphone dan siap-siap menelepon Sherly, "Eh, tunggu! Kalo gue telepon dia, berarti gue bakal denger suaranya..ah berarti gak bakal kejutan lagi besok! Selain itu gue mau denger suara dia secara langsung!".

Beberapa saat kemudian gue udah berhasil mengirim sms basa-basi ala anak SMA ketika ngajak kenalan, gak sampai 1 menit udah dibales sama dia, "Hai..iya ini Sherly, ini siapa yah?", "Woah, that was fast!" teriak gue dalam hati. Dia cepet balesnya, itu udah salah satu tanda kalo dia cukup terbuka, sekarang langkah selanjutnya. "Ini gue Cozy, anak 1.9, gue minta nomer lo ke Tito, tadi kita papasan di depan kelas gue waktu jam pulang. Tadi kita sempet tuker senyum, dan menurut gue senyum lo manis juga J". Tombol Send udah gue pencet, gue sengaja agak agresif di-sms kedua gue, gue pengen liat respon dia.

2 menit berlalu, handphone gue udah bunyi lagi, gue baca balesan sms dia, "Oh, lo yang tadi, iya gue inget, ehehe makasih ya. Salam kenal ya Cozy J". Senyum pun mengembang di wajah gue sesaat gue baca sms dia, langkah selanjutnya adalah saat-saat yang menentukan. "Iya, salam kenal juga Sherly J. By the way, to the point aja ya, gue tertarik sama lo waktu papasan sama lo tadi dan gue mau kenal lo lebih jauh. Rencananya gue mau ngajak lo besok ketemuan sekalian..kencan. Gimana menurut lo?". Gue baca ulang lagi hasil ketikan gue sebelum akhirnya gue pencet sekali lagi tombol Send.

"Message Delivered" begitu kalimat yang gue baca di layar handphone gue. Gue kembali merebahkan badan gue di kasur gue yang nyaman. "Ahh, kira-kira gimana ya respon dia? Kayaknya gue over-agresif deh.." lamunan gue tersadarkan oleh bunyi dering handphone gue, doi bales! Langsung buru-buru gue buka sms dari dia. "Kebetulan dong, gue lebih suka cowok yang jujur dan to the point. Gue juga tertarik sama lo. Oke, gue mau J". Fish on everybody!

Setelah merencanakan tempat pertemuan dan sedikit basa-basi, kita sepakat buat besok ketemuan di kafe deket sekolah kita, namanya “Safe & Sound Café”. Jadi inilah gue, duduk sendirian di dalem kafe, gue sengaja dateng sedikit lebih awal, biar menciptakan kesan awal yang bagus, jenius kan gue? Biasa aja? Oke.

Suasana kafe cukup ramai, wajar sih karena ini malam minggu. Kafe yang deket sekolah ini merupakan tempat favorit anak SMA di daerah sini, terutama dikalangan anak-anak dari SMA gue, saat ini aja, mayoritas pengunjung kafe ini berasal dari sekolah gue. Walaupun gue cuma kenal muka mereka. Gue ngeliat jam tangan, udah hampir tiba waktu yang dijanjikan, lalu gue alihkan pandangan gue ke arah pintu masuk, menunggu bidadari yang gue idam-idamkan tiba.

Gue masih memandangi pintu masuk, sambil sesekali melihat ke sekeliling mengamati pengunjung kafe lainnya. Beberapa menit kemudian gue liat seorang cewek masuk yang langsung gue sadari kalo itu adalah Sherly. Dia berhenti di depan pintu masuk, pandangannya tertuju mengamati meja-meja pengunjung. Gue langsung berdiri dari tempat duduk lalu melambaikan tangan ke arahnya. Dia melihat tanda dari gue, tersenyum lalu berjalan ke arah meja gue.

Sherly, dibalut dengan gaun hitam yang anggun, terlihat sangat cantik. Rambutnya yang hitam panjang dibiarkan terurai sampai bahu, menambah kecantikan dirinya. Suara hentakan hak sepatunya bagaikan irama yang memiliki keindahan tersendiri yang membuat gue terhanyut dalam alunannya. Sampai akhirnya dia berjalan semakin dekat dan gue sadar kalo ini adalah saat yang paling gue tunggu sejak kemarin, gue akan segera mendengar suaranya.

"Ohh, dia semakin dekat!" rasa penasaran ini bikin gue jadi agak deg-degan. Apakah suaranya indah bagaikan malaikat? Atau suaranya adalah melodi yang udah gua idam-idamkan sejak dulu? Gue merasa sangat excited, terutama telinga gue, mereka bagaikan perut yang sangat kelaparan dan akan segera diberi makan. Sherly hanya tinggal berjarak beberapa langkah dari tempat gue berdiri. "Alright, here she comes." siap gue dalam hati, akankah gue merasakan jatuh cinta pada pendengaran pertama?

Bersambung