KRIIIIIIIING....! Bunyi bel pulang berbunyi nyaring, seketika itu pula para murid beranjak dari tempat duduk masing-masing dan berjalan ke pintu keluar. Satu hari lagi telah berlalu di kehidupan SMA gue, satu hari yang secara mengejutkan terasa mendebarkan. Gue mengambil tas lalu berjalan cepat menuju pintu kelas. Tidak seperti biasanya, gue jadi orang pertama yang meninggalkan kelas. Gue langsung jalan ke parkiran, setelah motor siap, gue pun melaju meninggalkan sekolah. Gue akuin, gue emang belum siap buat menghadapi Sherly, terlebih karena bayangan kencan kemarin yang gagal masih segar dalam ingatan, saat ini gue pengen hindarin dia dulu untuk sementara, sebenarnya sampai saat yang tidak ditentukan sih.
Tujuan gue saat ini bukan pulang ke rumah, tapi ke tempat nongkrong waktu gue SMP, letaknya beberapa puluh meter dari gedung SMP gue, adalah sebuah warung dengan pos ronda di seberangnya. Di pos ronda itulah dulu hampir setiap hari gue sama temen-temen gue menghabiskan waktu sepulang sekolah. Sampai saat ini pun beberapa temen gue masih suka ke sini sepulang sekolah, sedangkan yang lain hanya hari-hari tertentu main ke sini, termasuk gue, yang sebulan terakhir sangat jarang main ke sini. Saat ini pun, gue ke sini, karena butuh tempat pelarian, sekaligus menenangkan pikiran gue yang agak tertekan belakangan ini.
Ketika gue sampe, di atas pos ronda sudah ada 2 orang temen gue, yang bernama Dul dan Joni. Mereka sedang bermain kartu, gue sapa mereka lalu gue ikut dalam permainan. Beberapa menit kemudian, seorang temen gue lagi datang, seorang cewek bernama Maria, dia cewek yang tomboy, gak heran dia lebih seneng ngumpul bareng cowok. Lalu dia pun bergabung dalam permainan, obrolan kita berempat masih seputar tentang SMA masing-masing, karena kita semua masuk ke SMA yang berbeda-beda. Obrolan kita berempat masih berlanjut sampai Maria dengan setengah teriak berkata, “Eh, liat tuh! Bukannya itu Tito ya?! Dia bonceng cewek lhooo!”, seketika pandangan gue, Dul, sama Joni mengarah ke seberang jalan namun masih agak jauh, di sana memang terlihat Tito, di atas motornya, dan dia memang sedang membonceng cewek, kenapa hal ini menjadi heboh adalah, karena Tito adalah cowok yang agak pemalu untuk urusan cewek. Maka dari itu saat ini terdengar kegaduhan dari pos ronda, Maria, Dul dan Joni bersiul-siul beriringan, gue masih menatap cewek yang dibonceng Tito, yang memang cukup cantik-eh tunggu, kok kayaknya gue kenal…oh, tidak, itu Sherly!
Mampus gue! Gue lupa Tito juga kadang suka main ke sini, dan dia juga tau rumah gue. Pasti Sherly minta tolong dia anter ke rumah gue terus begitu tau gue belum pulang jadi dia bawa ke sini, aduh Tito, lo sungguh jenius banget! Karena syok akan pemandangan yang gue liat, gue diem mematung, sementara ketiga temen gue masih bersiul ria. Kemudian gue liat Tito turun dari motor lalu dia berjalan menuju pos ronda, sementara Sherly tetap duduk di motor Tito. Begitu Tito sampai di depan pos ronda dia berkata ke gue, “Ji, gue yakin lo sama Sherly punya masalah yang perlu diselesain, mending lo omongin sekarang.”, Tito berkata dengan raut muka serius, karena itu pula ketiga temen gue yang tadinya berisik langsung diam. “Iya..oke men..” kata gue lemes, lalu beranjak dari duduk gue. May God saves my ears!
Gue pun berjalan ke arah Sherly, dalam hati gue merasa panik dan tertekan, namun semua keraguan itu gue kalahin dengan pikiran kalo ini memang harus diselesaikan, dan sebagai cowok pun gue harus bertanggung jawab atas perlakuan gue ke dia. Maka dari itu gue harus siap, harus terpaksa siap. Sherly menatap gue yang berjalan semakin dekat dengan tatapan marah. Begitu gue sampai di depan dia, gue lalu menyapanya, “Ha..hallo..Sherly,” suara gue bergetar takut, namun setelah gue menyapanya Sherly malah terisak, lalu menutup wajahnya dengan kedua tangannya. “Oh great, now she’s crying.” kata gue dalam hati. Menangis adalah senjata para wanita untuk meluluhkan hati pria, dan sayangnya, gue adalah tipe pria yang lemah akan tangisan wanita, seandainya para wanita itu menyatakan cintanya ke gue sambil menangis, pasti gue gak kuat dan akan menerimanya. But luckily, Sherly kemudian mengangkat wajahnya, lalu kembali menatap gue, matanya agak memerah karena menahan tangis barusan.
“Lo tega…” kata Sherly sambil terisak. Sementara gue, mengambil langkah mini untuk mundur beberapa centimeter, untuk meminimalisir rasa merinding yang gue rasain, pengen rasanya menutup telinga, tapi kayaknya gue masih cukup kuat bertahan. “Gue tau kok kenapa lo begini…” Sherly kembali berkata, dia menatap gue, “Gue tau suara gue mungkin sedikit aneh untuk suara cewek,”, “Mungkin? Sedikit? Ayolah, lo sedang menyiksa gue sekarang!” pikir gue. “Tapi belum pernah gue diperlakuin begini sama cowok!” kata Sherly setengah teriak, yang menyebabkan bulu roma gue kembali berdiri tegang, gue berusaha sebisa mungkin mempertahankan kesadaran. “Sher, gue juga punya alesan…” kata gue berusaha membela diri, tetapi langsung dipotongnya. “DIEM! Lo tau gak sih penderitaan gue?” kata Sherly sambil terisak. “Gara-gara punya suara begini, gue jadi susah dapet cowok, gue juga mau punya pacar! Selama ini gue selalu terbuka ke tiap cowok, walaupun gue tau pada akhirnya mereka bakal ilfill sama suara gue...”. Gue masih diem mematung, sambil merasakan sensasi dari mendengar suaranya. Kasihan sekali Sherly, gue berpikir mau memberikan nomor telepon Babeh, tapi mengencani satpam sekolah kayaknya hanya akan bikin dia tambah tertekan. Jadi gue urungkan niat gue.
Sherly diam sebentar mengambil nafas, lalu berkata, “Tapi cuma lo yang sebegini tega sama gue!”. Dia menatap gue, lalu kembali menutup wajahnya. “Sher…makanya dengerin dulu…gue juga punya alesan kok!”. Sherly masih terisak menutupi wajahnya. Sementara gue, sebisa mungkin ngejelasin semuanya, dari gimana obsesi gue sama suara cewek, kencan buta, dan tentu saja efek dari mendengar suara dia buat gue. “…makanya itu Sher, gue gak kuat denger suara lo, karena itu juga tingkah gue jadi aneh begini, suara lo itu gimana ya..dahsyat pokoknya-eh, maksudnya, tadi lo bilang sendiri kan kalo selama ini cuma gue cowok yang sampe begini ngehadapin lo? Ya emang begitu adanya, kalo cowok lain mungkin lebih tahan dibanding gue, jadi reaksi mereka pun gak berlebihan!” jelas gue. Sherly kemudian mengangkat wajahnya, lalu menatap gue. “Serius?” katanya. “Serius Sherrr!” kata gue sambil merinding. “Lo itu cantik kok, gue yakin pasti bakal ada cowok yang bisa bener-bener cinta sama lo apa adanya, tapi orang itu bukan gue.” kata gue berusaha merayunya. Sherly masih menatap gue, keadaan menjadi sunyi beberapa detik, lalu senyum pun mengembang di wajahnya, kemudian sambil menyeka pipinya yang basah, dia bertanya, “Hmph, oke deh, jadi?”, “Ya, jadi gue minta maaf deh karena udah nyakitin hati lo, maafin gue ya?” gue berkata sambil mengiba, “Tapi kalo lo masih ada rasa kesel lo boleh tampar gue.” tambah gue bercanda. “Serius? tanya Sherly. “Serius apa?”, “Serius boleh nampar lo?”, “I..ii..iya, eh, emangnya lo masih kesel sama gue?”, Sherly tertawa sinis, “Hmm, gak juga sih! Tapi dari dulu gue selalu pengen nampar tiap cowok yang udah bikin gue kecewa. Jadi, boleh kan?” kata Sherly sambil mendekatkan wajahnya ke wajah gue. Sementara perasaan merinding masih melanda tubuh gue sejak tadi, gue pengen percakapan ini segera selesai, namun masih ada satu hal lagi, gara-gara ucapan bodoh tadi, gue harus ngerasain tamparan Sherly. Seperti apa ya rasanya? Yah, karena dia cewek, mungkin gak bakal terlalu sakit. “Hm, iya boleh..silakan…” kata gue sambil menegapkan badan.
CELEPAAKKKK!
Telapak tangan Sherly mendarat keras di pipi kanan gue. “Ugh, dasar cewek bersuara aneh, bahkan suara tamparannya pun aneh!” pikir gue dalem hati. Gue jatuh terduduk di tanah, tak diduga ternyata tamparan Sherly keras juga, sebuah pelajaran baru buat gue, jangan pernah menganggap remeh kemarahan cewek, ternyata tamparannya menyakitkan, aduh pipiku!
Belum sempet gue bangun, gue denger suara langkah kaki di belakang gue, lalu gue denger suara cowok, “Ji? Ini temen lo ya? Eh, kenapa lo ditampar dia?”. Gue nengok, ternyata yang berbicara barusan adalah temen SMP gue yang bernama Marlon, kayaknya dia datang ke sini pas selagi gue ngomong sama Sherly. “Gapapa Lon, emang gue yang minta. Iya, ini temen SMA gue…” kata gue sambil mengelus pipi gue yang memerah sehabis ditampar. “Wah, cantik juga!” kata Marlon. “Cantik sih cantik, tunggu sampe dia bersuara!” kata gue dalam hati. Sherly hanya diam memperhatikan gue sama Marlon dari dekat. Lalu Marlon menghampiri Sherly sampai dia berdiri di sebelahnya, lalu berkata, “Hai! Hmm, boleh kenalan kan?”, Sherly menjawab dengan mengangguk. “Nama gue Marlon” kata Marlon sambil menyodorkan tangannya. “Hm, gue Sherly” balas Sherly sambil sedikit memelankan suaranya, lalu menjabat tangan Marlon. “Eh, sorry, siapa?” kata Marlon, nampaknya dia tidak mendengar Sherly karena suaranya yang pelan, lalu dia menyodorkan telinganya. “Oh, tidak!” teriak gue dalam hati. Marlon akan mendapat pukulan telak, tepat di depan telinganya! “NAMA GUE SHERLY” jawab Sherly dengan suara yang dikeraskan, dia jawab tepat di depan telinga Marlon. Sementara gue, gue menutup kedua kuping gue dengan tangan, dan gue pun memejamkan mata. Gue gak tau apa yang akan terjadi dengan Marlon. May God saves his ears!
“Oh Sherly, nama yang bagus! Salam kenal ya! Ngomong-ngomong, suara kamu indah ya!” kata Marlon. Mendengar hal itu gue langsung membuka mata, lalu teriak sekencang-kencangnya dalam hati, “HAH!? SERIUS LO!?”, di wajah gue tergambar raut ekspresi kaget, Sherly pun juga sama, gue yakin dalam hatinya dia juga teriak, “HAH!? SERIUS LO!?” tetapi dengan suara dia yang aneh tentunya. Keadaan menjadi sunyi selama beberapa detik, gue sama Sherly masih dalam ekspresi kaget, sementara Marlon diam bingung. Hingga akhirnya Sherly menjawab, “Ehm, ya makasih…”.
“Jadi lo temen satu sekolah si Cozy?” kata Marlon melanjutkan pembicaraan. Sebelum gue merinding lagi, gue langsung bangun dari duduk gue dan berjalan menuju ke pos tempat Tito dan yang lain berada. Selagi melangkah gue berpikir tentang kata-kata Marlon tadi, apa dia bilang begitu untuk jaga perasaan Sherly? Atau dia memanfaatkan kesempatan tadi untuk bisa merayunya? Gue nengok ke belakang, mereka berdua sedang terlibat dalam percakapan seru. Sherly tersenyum, mungkin ini pertama kalinya ada cowok seusianya yang mau terlibat percakapan selama ini dengannya. Marlon pun begitu, tidak terlihat kepura-puraan dalam ekspresinya, jangan-jangan ada yang salah dengan pendengarannya?
Begitu sampai di pos ronda, gue langsung menghampiri Tito yang sedang bermain kartu dengan Maria, Dul dan Joni. “To, lo tau kan si Sherly itu, suara dia?”, “Tau, kenapa emang?” tanya Tito. “Tuh lo liat si Marlon,” kata gue sambil menunjuk, “Kok bisa-bisanya dia tahan ngobrol sama Sherly?” tanya gue bingung. “Wah, ternyata sukses!” kata Maria. “Hah? Sukses apanya?” tanya gue tambah bingung. “Lo sih gak pernah main ke sini sebulan terakhir.” kata si Dul, “Iyee,” si Joni menambahkan. Gue terlihat makin bingung sebelum Tito akhirnya menjelaskan, “Begini Ji, si Marlon itu, sejak SMP emang udah punya masalah sama pendengarannya, ternyata makin ke sini makin parah, jadi sekitar 3 minggu yang lalu dia operasi tuh telinganya, gak tau deh diapain, yang jelas, pendengarannya emang berbeda dari kita-kita, apa yang kita denger, belum tentu kedenger sama di kuping dia.”, “Iya, terus..” Maria menambahkan, “Tadi si Tito cerita masalah lo berdua ke kita, terus kebetulan si Marlon dateng, jadi kita suruh kenalan aja sama temen lo itu, ternyata bisa klop tuh!” pungkas Maria sambil menunjuk ke arah Marlon dan Sherly yang masih asik bercakap-cakap. “Oalah, jadi begitu toh!” kata gue bersyukur sambil menepuk jidat. Lalu gue pun ikut bergabung ke permainan kartu.
Yah, setiap orang memang sudah ditakdirkan akan memiliki seseorang sebagai sosok yang paling mengerti dirinya. Gue lega karena masalah gue sama Sherly sudah selesai, juga lega karena dia akhirnya bisa nemu mungkin satu-satunya cowok yang ‘pas’ buat dia, yaitu Marlon. Eh, tapi tunggu, gue kan tokoh utama cerita ini, kok malah temen gue yang berhasil dapet cewek!? Yah, itu berarti pencarian gue belum berakhir, gue masih akan mengulik melodi yang tepat buat hati gue. Cinta itu buta, seperti banyak orang bilang, tapi Cinta juga tuli, jika kata-kata dari mulut gak cukup, maka hati yang akan berbicara dan hati yang akan mendengar. Tapi yang jelas gue gak mau ngelakuin Kencan Tuli lagi, satu Sherly sudah cukup!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar