Rabu, 29 Februari 2012

Gerakan Menyatakan Cinta 29 Februari

Saat ini sudah larut malam, gue lagi sendirian di kamar kostan gue, gue terpaksa masih bangun selarut ini karena harus mengerjakan tugas kuliah gue. Sebenarnya, sekarang adalah masa liburan semester, tetapi karena ada satu pelajaran yang hasilnya kurang memuaskan, gue terpaksa ikut Semester Pendek buat benerin nilai. Nama gue Kirman, mahasiswa berusia 21 tahun yang sedang berjuang di tahun terakhir masa kuliah gue. Dan bentuk dari perjuangan gue adalah ini, udah 4 jam gue setia memandangi layar laptop, berkutat dengan topik masalah yang gue angkat di-paper gue. Jam sudah menunjukan pukul setengah 2 dini hari, sebenarnya, mata gue udah berkali-kali nge-ping otak gue untuk menyuruh tidur, namun karena gue rasa tanggung-karena tinggal mengerjakan bab IV-maka gue putusin buat selesain malam ini juga. Sebenarnya deadline dari tugas gue masih sehari lagi, tetapi gue mau semuanya selesai malam ini, biar gue bisa menjalani hari ini dengan tenang karena udah bebas terlepas dari beban yang mengekang gue selama seminggu belakangan ini.

Gue beranjak keluar dari kamar gue dan menuju dapur kostan, mata dan otak gue butuh rangsangan agar bisa tetap terjaga, jadi gue berniat untuk bikin kopi untuk menemani perjuangan gue di sisa malam ini. Setelah hampir ketiduran di kursi dapur ketika menunggu air mendidih, gue berjalan kembali ke kamar dengan menenteng secangkir kopi panas. Lalu gue kembali duduk di depan laptop tersayang, yang udah selama 3 tahun ini selalu bersama gue melewati beratnya menjajaki bangku kuliah. Sebelum kembali melanjutkan mengerjakan paper gue, juga sambil menunggu kopi yang masih panas, gue putusin untuk sedikit refreshing terlebih dahulu dengan mem-browsing beberapa website hiburan yang biasa gue buka. Gue mulai dengan membuka beberapa blog humor dan beberapa blog yang dikelola teman-teman gue, gue baca beberapa post yang menurut gue ringan. Lalu gue juga main ke beberapa forum yang udah lama gak gue kunjungin, gue pun meninggalkan jejak dengan menanyakan kabar teman-teman gue di sana. Gak terasa setengah jam sudah berlalu, kopi yang gue bikin tadi pun sudah mulai dingin. Gue hampir aja menutup internet browser sebelum kemudian gue teringat untuk membuka 1 website yang udah lumayan lama gak gue buka, yaitu Facebook.

Beberapa detik kemudian gue udah login dan masuk ke jendela utama. Di sana ada belasan friend requests, beberapa messages, dan puluhan notifications. Notifications terlama adalah tentang sebuah wallpost yang dikirim hampir 2 bulan yang lalu. Lucu ketika gue ngeliat temen-temen gue yang sangat aktif di Facebook, gue masih inget beberapa temen gue yang selalu meng-update statusnya tiap beberapa menit sekali, atau seorang temen gue yang selalu menghubungi orang lain lewat wallpost atau message, sehingga dia seolah lupa akan yang namanya SMS atau telepon-padahal 2 hal barusan berpotensi lebih cepat dapet tanggapan dari yang bersangkutan, kecuali yang bersangkutan memang sedang online. Sementara buat gue Facebook cuma berfungsi sebagai pengingat akan ulang tahun temen-temen gue, atau ketika gue perlu menghubungi temen gue yang gue gak punya nomer teleponnya.

Setelah menolak beberapa friend request dari orang-tak-dikenal-yang-hanya-ingin-teman-Facebook-nya-bertambah, dan membalas beberapa notifications yang belum terlalu kadaluarsa, gue kembali ke jendela utama. Lalu gue baca status terkini dari teman-teman Facebook gue-yang kebanyakan isinya curhat atau sok puitis-selama beberapa saat sebelum kemudian mata gue menangkap public notifications di sebelah kanan layar yang bertuliskan; ‘It’s Yanti Sukroatmojo’s birthday’. Membaca kalimat tersebut otak gue serasa dicolek oleh seseorang, tiba-tiba gue teringat sesuatu yang menyebabkan gue berdiri dan menatap kalender dekat-dekat, melihat tanggal hari ini; 29 Februari 2012. “Oh, tentu saja!” kata gue dalam hati sambil menepuk jidat. Gue baru sadar kalau tahun 2012 tahun kabisat, gue juga baru sadar kalau hari ini adalah hari 29 Februari yang hanya terjadi tiap 4 tahun sekali. Selama seminggu terakhir gue cuma mengingat hari tanpa mengingat tanggal, gue cuma mengingat-ingat 1 hari yaitu hari Kamis tanggal 1 Maret, hari dimana gue harus nyerahin paper gue. Gue gak nyangka kalau 1 hari sebelum deadline tugas gue adalah hari 29 Februari.

Gue selalu suka sama segala fenomena yang berhubungan dengan Astronomi, jadi ketika para astronom berteriak; “Komet XXX yang hanya melintas dekat bumi setiap 69 tahun sekali akan dapat terlihat dengan mata telanjang Kamis malam esok!” Itu menandakan kalau Kamis sore gue harus beli cemilan untuk begadang. Karena alasan itu pula gue suka tanggal 29 Februari, menurut gue tanggal yang hanya ada tiap 4 tahun sekali itu unik. Terkadang gue berharap kalo gue lahir pada tanggal 29 Februari, walaupun gue gak yakin bisa merayakan Sweet Seventeen karena pada saat itu gue harus berumur 68 tahun. Karena itu gue selalu menganggap orang yang lahir ditanggal 29 Februari sebagai orang yang beruntung, dan salah satu orang beruntung tersebut adalah temen gue yang tadi, yang bernama Yanti Sukroatmojo.

Yanti adalah temen SMA gue, kami bisa bertemu dan berkenalan karena kami adalah teman sekelas waktu di kelas 2. Gue yang sudah sejak saat itu terobsesi dengan astronomi sangat bersemangat ketika pertama kali tahu kalau dia lahir pada tanggal 29 Februari 1992. Sebenarnya, hubungan gue dengan Yanti lebih dari sekedar gue menganggap dia orang-beruntung-yang-berulang-tahun-tanggal-29-Februari. Terdapat sebuah kisah, atau sebuah kenangan yang selama ini sudah tersimpan rapih dalam Lemari Memori Kenangan SMA yang ada di dalam otak gue. Suatu kisah yang melibatkan sebuah rencana, obsesi, dan seekor kecoak mati. Sebenarnya gue gak begitu berniat untuk mengingatnya kembali, tetapi karena gue udah terlanjur ngeliat birthday notification Yanti di Facebook tadi, otak gue secara lepas kendali sedang mengacak-acak lemari tersebut untuk mencari kenangan gue sama Yanti, jadi gue pun rela setiap ruang di otak gue kembali terisi oleh kenangan yang ditulis 4 tahun yang lalu.

Saat itu tahun 2008. Awal bulan Januari adalah saat dimana gue mulai deket sama Yanti, atau lebih tepatnya saat dimana gue mulai bisa deketin Yanti. Sebenarnya hal ini pun terjadi secara gak sengaja, karena dari awal gue hanya menganggap Yanti sebagai cewek biasa, dia hanyalah 2,7% dari jumlah total populasi murid cewek di kelas gue. Secara penampilan, dia tergolong biasa saja, tidak cantik juga tidak tidak cantik. Selain itu, posisi duduk kami pun terpisah jauh, dia duduk di meja terdepan, sementara gue duduk di salah satu sudut kelas. Karena hal ini lah kami jarang bisa terjebak dalam situasi percakapan, karena hal ini juga, kami menganggap satu sama lain sebagai cuma-temen-sekelas-biasa selama bulan-bulan pertama kelas 2 SMA. Hingga suatu saat, tepatnya sekitar minggu terakhir bulan Desember 2007, ketidak-sengajaan itu pun terjadi.

Hari itu merupakan hari terakhir dari UAS semester ganjil. Gue sedang berjalan menuruni tangga sekolah seorang diri, gue baru saja mengikuti ujian perbaikan salah satu pelajaran, jadi gue terpaksa menghabiskan waktu 1 jam lebih lama di sekolah dibanding temen-temen gue yang udah pada pulang. Karena lelah dan haus gue memutuskan untuk mampir ke kantin sekolah terlebih dahulu untuk membeli minuman dingin. Di sana lah gue bertemu dengan Yanti, sebelum kemudian saat itu menjadi yang pertama kalinya gue ngobrol berduaan dengannya.

Saat gue tiba di kantin Yanti sedang duduk di salah satu kursi panjang yang ada di areal kantin, gue pun langsung menghampirinya. Ternyata dia sedang menunggu jemputan dari adiknya yang sudah molor 1 jam dari waktu yang seharusnya, dia merasa agak bete karena teman terakhir yang menemaninya pergi pulang setengah jam yang lalu setelah pacarnya yang pemarah datang menjemput. Ketika gue menghampiri Yanti, dia sedang berkutat dengan handphone-nya, yang setelah gue tanyakan, ternyata itu adalah handphone baru dan dia sedang berusaha men-setting GPRS handphone tersebut, tetapi dia selalu gagal karena gak tau caranya. Ternyata handphone barunya sama dengan jenis yang gue pakai, dan tentu saja gue ngerti cara setting GPRS. Alhasil beberapa menit kemudian Yanti merasa senang sekaligus kaget dengan apa yang udah gue lakuin dengan handphone-nya. Gue masih ingat dengan jelas saat dia tersenyum seraya mengucapkan terima kasih. Itu adalah pertama kalinya gue melihat senyum Yanti, dan pertama kalinya gue sadar kalau dia menjadi super manis saat tersenyum. Namun gue gak semerta-merta langsung naksir karena hal itu, saat itu gue hanya menjadi sedikit penasaran dengan sosok Yanti yang belum terlalu gue kenal. Namun selebihnya gue tetap merasa kalau dia hanyalah cewek biasa yang kebetulan sekelas sama gue. Beberapa menit kemudian adiknya datang menjemput, mengakhiri percakapan kami. Lalu tanpa diduga-duga Yanti mengajak gue bertukar nomor handphone, gue pun dengan senang hati menerimanya, gue pikir mempunyai lebih banyak teman akrab lebih baik.

Namun ternyata, dari bertukar nomor itulah kami bisa jadi akrab. Melalui ratusan sms yang terkirim selama 1 minggu, kami menjadi saling lebih banyak tau tentang satu sama lain. Gue, awalnya sama sekali gak menduga akan hal ini. Karena awalnya Yanti hanya sms gue untuk bertanya-tanya seputar handphone barunya, namun sering kali kami baru bisa berhenti sms-an ketika salah satu jatuh tertidur. Entah kenapa, kami selalu bisa menemukan hal untuk dibahas, dan ini yang menyebabkan pengeluaran pulsa gue meningkat menjadi 3x lipat minggu itu.

Pada malam pergantian tahun 2008, Yanti mengajak gue dateng ke acara anak-anak sekelas yang diadakan di rumahnya. Di sana, justru kami menjadi semakin akrab, kami mengobrol tentang banyak hal, berbagi cerita tentang beberapa hal yang terlalu seru untuk diceritakan lewat sms, bercanda, saling iseng, dan berdoa bersama untuk menyongsong tahun yang baru. Sebuah malam yang menyenangkan, juga tak terlupakan. Pandangan gue terhadap Yanti berubah setelah malam itu, gue mulai menganggap dia sebagai gadis yang menarik.

Setelah itu kami selalu bertukar sms setiap hari, dari pagi sampai malam hari. Beberapa hari kemudian gue main ke rumahnya, dan beberapa hari kemudian gue mengajak dia jalan. Pertengahan bulan Januari, satu hari sebelum mulai masuk sekolah lagi, gue pun memproklamirkan diri kalo gue udah mulai jatuh cinta dengan dia. Gue sadar kalo gue harus mulai mempersiapkan segala strategi PDKT, hingga gue ngerasa benar-benar yakin dan sudah benar-benar dekat sama Yanti sebelum kemudian gue menyatakan perasaan gue.

Kalender sudah memasuki bulan Februari, dan semua berjalan sesuai rencana. Selama 2 minggu terakhir gue sama Yanti menjadi semakin dekat dan semakin dekat dan semakin dekat. Gue udah mulai berpikir untuk mencari waktu atau menciptakan momen yang tepat untuk menyatakan cinta. Suatu ketika, ketika sedang sms-an seperti biasa, gue memberitahu Yanti tentang kesukaan gue sama Astronomi, gue juga memberitahu dia gimana gue suka sama tanggal 29 Februari, yang akan terjadi akhir bulan ini. Saat itulah Yanti kemudian memberitahu gue tanggal ulang tahunnya, mengetahui hal itu gue menjadi semakin memuja dirinya, sekaligus membuat gue akhirnya memutuskan untuk ‘menembaknya’ pada hari ulang tahunnya. Awalnya gue agak sedikit khawatir kalau jadi kelamaan, karena sekarang pun kami udah deket. Tapi gue pikir, kalo gue bisa mempertahankan keadaan ini selama 1 bulan kedepan, kayaknya semua akan baik-baik aja, selain itu juga, karena sekali lagi, menurut gue tanggal 29 Februari itu keren. Maka dari itu juga, gue menyebut rencana gue ini dengan sebutan “Gerakan Menyatakan Cinta 29 Februari”. Yah, memang agak norak sih.

Hari-hari berikutnya kami menjadi lebih semakin dekat lagi. Di kelas pun kami sering terlihat sedang berduaan, sehingga teman-teman sekelas gue pun mulai pada tahu kalau kami berdua memang lagi dekat. Semuanya masih berjalan lancar dan sesuai rencana. Hingga suatu ketika, salah satu temen cowok gue bertanya tentang hubungan gue sama Yanti, setelah gue jelasin keadaannya, justru dia menyarankan gue untuk segera nembak Yanti, karena menurutnya PDKT gue udah kelamaan, dan Yanti juga kelihatannya udah tertarik sama gue, jadi gak ada yang perlu ditunggu lagi. Lalu gue jelasin ke dia kalau gue udah punya rencana-tanpa bilang tentang 29 Februari-gue bilang kalo semuanya udah dalam kendali dan berjalan sesuai rencana. Mendengar hal itu, temen gue cuma bilang, “Yah, good luck deh, bro. Semoga aja semua tetep bisa jalan sesuai rencana lo.”

Sebenarnya gue agak kepikiran sama peringatan temen gue barusan, tetapi kalau melihat keadaan gue sama Yanti saati ini yang masih adem ayem, maka gue tepis kekhawatiran gue tadi dengan memutuskan untuk tetap stick to the plan. Namun ternyata, peringatan tersebut gak datang dari satu orang teman gue aja, beberapa orang menanyakan dan menyarankan hal yang sama. Semua bisa gue tepis, kecuali saran dari salah seorang temen cewek di kelas gue, yang berhasil bikin gue ragu. Di malam tanggal 19 Februari, dia sms gue, namanya Nur. Seperti temen gue yang lainnya, dia juga menyarankan hal yang sama, tetapi dengan sedikit tambahan, menurutnya Yanti bukanlah tipe cewek yang butuh waktu lama untuk didekati, dia tipe yang lebih suka menilai cowok ketika sudah jadian ketimbang hanya pas PDKT. Nur memperkuat argumennya dengan mengatakan dia tahu semua itu karena dia sudah dekat sama Yanti sejak SMP karena pernah sekelas. Lalu, seolah mendukung hubungan gue sama Yanti, Nur menyuruh gue untuk nembak Yanti besok. Bahkan dia menawarkan bantuan jikalau gue merasa kesulitan untuk melakukannya. Gue memikirkan saran Nur dalam-dalam, saat itu gue ragu dan bimbang, sebenarnya saat itu gue mulai berpikir kalau mengikuti saran Nur merupakan ide yang bagus, karena gak ada salahnya juga toh hasilnya akan sama saja dengan rencana gue. Tetapi setelah berpikir beberapa saat, gue pun terpaksa menolak saran Nur, gue lebih memilih tetap mengikuti rencana awal. Nur pun menyerah dan mendoakan gue beruntung dengan rencana gue. Walaupun faktanya sepanjang malam itu gue masih berusaha menimbang-nimbang akan saran dari temen-temen gue.

Esok harinya di sekolah, gue masih kepikiran akan saran Nur semalam. Selama di kelas, pandangan gue selalu mengarah ke meja tempat Yanti duduk, gue menatap dia dari belakang sambil berpikir. Di satu sisi gue emang mau jadian sama dia, dan emang gak ada salahnya melakukannya secepat mungkin. Namun di sisi yang lain gue masih-dengan bodohnya-kepikiran sama tanggal 29 Februari. Gue mau tanggal jadian kita 29 Februari. Selain itu hari itu juga hari ulang tahunnya. Dan menurut gue dengan menyatakan perasaan gue merupakan kado terindah yang bisa gue kasih.

Gue berpikir keras sepanjang hari itu, karena masih ada kesempatan kalau gue mau mengikuti saran Nur. Sebenarnya gue sangat berkesempatan. Karena sepulang sekolah, Yanti mengajak gue ngobrol di kantin, dengan alasan ingin membicarakan sesuatu. Sebenarnya saat itu bisa menjadi momen yang saat sempurna buat gue nembak Yanti. Gue masih berpikir sambil menatap dia yang sedang berbicara di depan gue. Gue masih ingat bagaimana dia terlihat sangat cantik dimata gue saat itu. Gue masih ingat bagaimana gue bisa aja menjadikan dia milik gue saat itu juga. Tetapi gue juga masih ingat bagaimana bodohnya gue saat itu, karena gue memutuskan untuk melepaskan kesempatan emas tersebut, dan kembali ke rencana semula. Sebuah keputusan yang salah, karena gue akan menyesali semuanya dalam beberapa hari berikut, dan semuanya berawal dari kejadian dimalam hari itu.

Malam harinya, seperti biasa gue sedang sms-an sama Yanti. Setelah memutuskan untuk melakukan semuanya sesuai rencana, yang harus gue lakuin saat ini adalah menjaga hubungan ini agar tetap adem ayem selama 9 hari ke depan. Gue cukup optimis kalau rencana gue akan berjalan sempurna, karena saat ini pun, Yanti masih seperti biasanya, kita masih intim ber-sms-an ria, dia tidak terlihat berbeda atau menjadi kecewa karena gue melewatkan kesempatan tadi siang, gue berharap semoga dia bisa bersabar seminggu lagi. Saat itu kami sedang membahas tentang novel favorit masing-masing, karena kami berdua sama-sama suka baca. Gue bercerita tentang sebuah novel tua karangan J.O. John-seorang penulis dari Australia-yang berjudul “Love In The Blue Moon”. Gue bercerita bagaimana gue suka banget sama kisah cinta di novel tersebut, gue seolah-olah ‘mempromosikan’ novel tersebut agar Yanti tertarik untuk membacanya. Dan gue pun berhasil, Yanti meminta gue untuk membawa novel tersebut besok ke sekolah. Gue pun merasa senang, setidaknya novel tersebut bisa menjadi pengisi waktu luang dia sekaligus bahan bahasan kami selama seminggu ke depan. Lalu gue teringat kalau sekarang novel tersebut berada di dalam salah satu kardus yang ada di gudang, gue pun ke sana untuk mengambilnya. Setelah menemukannya, gue hanya sedikit membersihkan debu yang menempel di sampul lalu memasukannya ke dalam plastik sebelum kemudian gue taruh di dalam tas sekolah gue.

Keesokan harinya, tanggal 21 Februari 2008, 8 hari hitung mundur dari hari-H rencana gue. Semuanya tampak lancar dan baik-baik saja selama di sekolah, Yanti pun saat itu terlihat senang ketika melihat novel yang gue bawa. Dia menerima bungkusan yang berisi novel tersebut lalu berkata kalau dia akan membukanya ketika di rumah nanti. Terkadang ada waktu dimana kita berharap bisa kembali ke masa lalu untuk melakukan beberapa hal dengan lebih baik dan lebih benar, atau untuk mengoreksi beberapa kesalahan yang kita lakukan di masa lampau. Nah, kalau gue dikasih kesempatan untuk bisa ngelakuin itu, gue akan kembali ke hari ini, karena saat itu, gue melewatkan satu hal kecil, namun berakibat sangat fatal.

Saat itu gue baru sampai rumah sepulang dari sekolah, gue baru aja menaruh tas gue di kamar ketika gue denger nada dering sms masuk dari handphone gue. Seperti biasa sms itu dari Yanti, biasanya dia menanyakan gue udah sampai rumah atau belum, atau menyuruh gue makan siang, namun kali ini berbeda, gue gak menduga sama isi sms tersebut yang bertuliskan; “Kirman! Lo udah bikin gue nangis, gue benci sama lo!” Membaca hal itu gue sangat kaget, gue langsung diam untuk berpikir apa gue tadi udah bikin kesalahan waktu di sekolah, tapi sejauh yang gue inget, kayaknya gak ada masalah, sampai pulang sekolah tadi Yanti masih ngobrol sama gue selama beberapa saat di parkiran. Semakin berpikir gue jadi tambah bingung, apa yang menyebabkan Yanti sms kayak gitu, gue penasaran, gue bales sms dia untuk bertanya ada apa, namun sampai 1 jam menunggu pun dia gak bales sms gue, jadi gue putuskan buat dateng ke rumahnya.

Sesampainya gue di sana, ternyata Yanti gak mau nemuin gue, yang nemuin gue saat itu adalah adiknya. Dia bilang Yanti masih menangis di kamarnya, lalu kemudian menceritakan apa yang sebenarnya baru saja terjadi. Ternyata semua disebabkan oleh novel yang gue pinjamkan di sekolah tadi. Jadi ketika Yanti bermaksud membacanya, seekor bangkai kecoak terjatuh dari dalam buku lalu mendarat di pangkuannya. Yanti yang fobia terhadap kecoak pun lalu menjerit histeris dan menangis sejadi-jadinya, dia menjadi kalap dan syok setengah mati, karena fobianya memang sudah tergolong ekstrim. Ketika mendengar hal ini dari adiknya Yanti, gue cuma bisa diam terpaku sambil membayangkan sebuah tangan raksasa menepuk jidat gue keras-keras. Semua ini karena kelalaian gue. Karena gue tau kenapa bisa ada kecoak di dalam buku itu. Sekitar satu bulan yang lalu gue sedang membereskan gudang, lalu menemukan buku itu di salah satu kardus, karena itu adalah buku favorit gue, dan udah lama gue gak baca, gue pun sedikit membaca-baca buku itu kembali di gudang. Ketika gue sedang asik baca, seekor kecoak merayap naik di tembok yang ada di hadapan gue, lalu tanpa diduga-duga, kecoak itu terbang ke arah gue, gue pun berhasil dibuatnya kaget, tapi sekaligus reflek ‘menangkapnya’ dengan buku yang sedang gue pegang, lalu menjepitnya di halaman 126-127. Karena merasa kesal dan masih kaget, gue pun membalas kecoak itu dengan langsung menaruh kembali buku tersebut di dalam kardus, dan menumpuknya dengan buku-buku lainnya, sambil berharap kecoak tersebut mati terjepit. Kemudian gue kembali melanjutkan pekerjaan gue di gudang dan melupakan tentang nasib kecoak itu sampai dengan saat gue mengambil buku tersebut untuk dibawa ke sekolah.

Mengetahui semua hal ini gue jadi merasa bodoh. Suatu saat Yanti emang udah pernah bilang ke gue kalo dia takut sama kecoak, tapi gue gak duga kalo efeknya bisa sehebat ini. Gue juga sangat menyesal karena gue lupa kalo ada kecoak di dalam buku itu. Saat ini hubungan gue sama Yanti berada di ujung tanduk. Kata adiknya Yanti, setiap kali Yanti mengalami ‘insiden’ dengan kecoak, dia akan menjadi murung selama beberapa hari, karena batinnya merasa sangat syok. Keluarganya yang sudah mengetahui hal ini sudah terbiasa sehingga menjadi lebih waspada dan mengontrol peredaran kecoak di dalam rumah. Saat ini gue gak tau harus berbuat gimana, gue disarankan untuk sementara waktu jangan berhubungan dulu sama Yanti, kasih dia waktu untuk pulih. Gue pun menyetujui saran adiknya Yanti, lalu gue menitipkan permintaan maaf untuk disampaikan ke Yanti, kemudian gue beranjak pulang. Sepanjang sisa hari itu gue terus kepikiran sama kejadian ini, gue jadi galau, gue pengen banget sms atau telepon Yanti untuk bilang kalau gue sama sekali gak sengaja, gue lupa kalau di dalam buku itu ada hewan yang dia benci, dan gue sangat sangat menyesal akan kejadian ini. Tapi gue inget saran adiknya Yanti, kayaknya untuk sementara ini gue harus keluar dulu dari hidupnya.

Keesokan harinya Yanti gak masuk sekolah, hari itu hari Jumat, dan karena kegiatan belajar libur ketika hari Sabtu, otomatis gue baru bisa ngeliat Yanti lagi hari Senin minggu depan. Gue pun masih berusaha dengan terpaksa mensabarkan diri gue. Malam harinya Nur menelepon gue, dia turut prihatin atas apa yang terjadi dihubungan gue dengan Yanti, tapi dia juga sekaligus menyalahkan gue karena gak mau mengikuti saran dia. Dia juga bilang kalau waktu Yanti mengajak gue ngobrol sepulang sekolah di kantin tanggal 20 Februari adalah saran dia kepada Yanti. Yanti setuju mengikuti sarannya karena berharap gue akan nembak dia saat itu. Mendengar semua itu sekarang jadi terasa sangat menyesakkan, gue jadi tambah nyesel sama diri gue. Nur pun menyemangati gue, dia berharap keadaan bisa menjadi seperti semula secepatnya. Tetapi dia juga bilang kalau saat ini semua tergantung pada diri Yanti, apa dia masih mau membuka hatinya untuk gue apa nggak.

Beberapa hari pun berlalu, tapi keadaan masih suram, sementara tanggal 29 Februari semakin dekat. Gue mulai merasa kalau Yanti benar-benar jadi membenci gue, dan rencana gue kayaknya gak bakal bisa terwujud. Senin tanggal 25 Februari, Yanti menjadi cuek sama gue di sekolah, atau seolah-olah dia menganggap gue gak ada. Dia selalu menghindar tiap gue berusaha menghampirinya. Akhirnya hari itu pun gue menyerah, mungkin dia masih butuh waktu. Namun keesokan harinya pun gak jauh berbeda, yang berbeda adalah gue, yang mulai frustasi kalau semua gak akan bisa berjalan sesuai harapan. Malam harinya gue memberanikan diri untuk sms Yanti, gue meminta maaf dan berusaha untuk memperbaiki hubungan dengannya, namun dia gak membalas satu pun sms gue malam itu. Sebenarnya gue merasa kesal dengan sikapnya, namun menjelaskan kekesalan gue ke dia pun kayaknya gak bakal ada artinya, malah bisa membuatnya semakin membenci gue. Akhirnya gue mengalah, gue pun memutuskan untuk memberinya sedikit waktu lagi, siapa tau dia ingin pikir-pikir dulu setelah baca sms gue. Toh masih ada 2 hari lagi, siapa tau semua bisa membaik dalam kurun waktu tersebut.

Namun keesokan harinya, keadaan masih sama saja, Yanti masih nyuekin gue. Di kelas gue beberapa kali berhasil mencegat dia, tapi dia selalu berhasil lolos sebelum gue sempet mengatakan apapun. Gue pun kembali menyerah hari itu. Malam harinya gue memutuskan untuk harus menyelesaikan semua ini besok di sekolah, gue harus bisa bikin dia mau dengerin gue, walaupun harus menculik dia sekalipun.

Hari Jumat, tanggal 28 Februari 2008. Akan selalu gue inget sebagai hari terburuk di catatan hingar-bingar perjalanan cinta gue. Semua berawal ketika gue gagal untuk berbicara dengan Yanti di kelas, entah bagaimana dia lagi-lagi selalu bisa menghindari gue, dan lolos tiap saat gue hampir bisa mencegat dia. Karena gue gagal ketika di kelas tadi, maka gue kesempatan terakhir gue yaitu saat pulang sekolah, gue akan mencegat dia ketika masih berada di areal sekolah, lalu menjelaskan semuanya. Waktu itu gue lagi berjalan di areal sekolah, pandangan gue mencari-cari Yanti di antara ratusan anak lain yang sedang berjalan menuju gerbang sekolah. Ketika gue sampai di parkiran, mata gue berhasil menangkap Yanti yang sedang berada di seberang jalan di depan gerbang sekolah. Namun belum sempat gue beranjak dari tempat gue berdiri dan menghampirinya, sebuah motor yang dikendarain seorang cowok berhenti di depan Yanti, si cowok membuka helmnya, lalu Yanti tersenyum ketika melihat wajah cowok itu. Kemudian dia menaiki motor tersebut, melingkarkan lengannya di sekeliling pinggang si cowok, lalu mereka berdua melaju dengan mesranya. Gue melihat semua itu dengan perasaan campur aduk, di satu sisi gue merasa gak percaya dengan apa yang baru aja gue liat, tapi di sisi yang lain gue mengerti sepenuhnya apa yang baru aja gue liat. Gue berusaha menolak untuk mencerna hal itu di otak gue, namun gue gagal, dan otak gue pun mengirimkan hasil cernaan tersebut ke hati gue. Hati gue pun hancur.

Gue masih berdiri terpaku di parkiran sekolah. Di sekeliling gue anak-anak lain lalu-lalang melewati gue, yang saat ini sedang terpuruk. Gue masih berdiri diam seperti ini selama beberapa saat sebelum kemudian sebuah suara menyadarkan gue, suara itu adalah suara Nur, yang ternyata dia melihat gue melihat Yanti di seberang jalan tadi. Dia mengajak gue ke kantin untuk membeli minuman buat gue, sekaligus ingin menceritakan yang barusan terjadi tentang Yanti. Gue berjalan terhuyung-huyung mengikuti Nur dari belakang, pikiran gue saat ini ibarat sebuah layar televisi yang secara terus-menerus dan diulang-ulang menampilkan gambar ketika Yanti pergi dengan cowok lain, dan gue cuma bisa menontonnya dengan rasa frustasi yang mendalam.

Ketika sampai di kantin, gue sama Nur duduk di salah satu kursi panjang di sana. Gue bisa agak tenang setelah menghabiskan 2 botol minuman bersoda, kemudian Nur pun membuka pembicaraan, awalnya dia berkata kalau dia turut prihatin sekaligus berduka atas nasib gue, sebelum kemudian dia bercerita yang sebenarnya terjadi. Nur bilang kalau cowok yang gue liat di depan sekolah tadi itu adalah cowoknya Yanti. Dia berasal dari SMA lain yang berada lumayan dekat dari sekolah gue. Namun yang bikin gue sakit hati adalah, ketika Nur bilang kalau Yanti baru mengenal cowok itu selama beberapa hari saja, bahkan belum ada seminggu. Dan yang lebih menyakitkan lagi, mereka baru jadian tadi ketika waktu istirahat, si cowok menelepon Yanti dan menembaknya. Kata Nur, Yanti menerimanya karena cowok itulah yang ada di sampingnya selama beberapa hari dia terpuruk karena insiden ‘kecoak di dalam buku’, selain itu juga karena memang Yanti adalah tipe cewek tepat seperti yang Nur kasih tau gue minggu lalu.

Mengetahui semua itu membuat gue mengutuk diri gue dalam hati. Nur masih menatap gue dengan tatapan iba. Sebenarnya jauh di dalam, gue merasa jengkel. Gue kesel sama keegoisan cewek. Kenapa Yanti gak mau ngasih gue kesempatan untuk ngomong? Kalau memang dia butuh seseorang untuk menghibur dia ketika dia sedang terpuruk, kenapa harus orang lain? Gue udah berusaha untuk menyelesaikan masalah dengan meminta maaf, gue adalah orang yang dekat sama dia selama 1 bulan terakhir, tetapi dia malah lebih memilih orang lain yang baru dia kenal beberapa hari. Beberapa hari. Cewek emang egois, ketika ada masalah dengan cowok, mereka hanya memikirkan perasaan mereka aja, tanpa mau memikirkan perasaan pasangannya. Ah, pikiran gue saat itu jadi macam-macam, kalau gue biarin, bisa-bisa gue jadi benci cewek, bisa-bisa gue jadi Homo. Gue sebisa mungkin berusaha meredam rasa kesel gue, gue berusaha untuk bisa berpikir jernih walaupun pada kenyataannya keadaan gue sangat keruh.

Tetapi walaupun gue ngerasa benci dan kesel sama sikap Yanti, sebenarnya gue masih sayang sama dia. Tapi apa daya gue gak mungkin bisa tetep ngejalanin rencana gue besok. Akhirnya dengan dibantu dorongan dari Nur, gue pun akhirnya bisa rela dan pasrah sama nasib gue saat itu. Gue rela sama hasil dari perjuangan gue yang ternyata berbalik 180 derajat dari yang gue harapkan. Saat ini gue harus bisa melupakan perasaan gue terhadap Nur secepat mungkin sebelum gue menderita lebih jauh. Yah, pada akhirnya rencana “Gerakan Menyatakan Cinta 29 Februari” gagal terlaksana.

Setelah kejadian ini, hubungan dan pandangan gue terhadap Yanti berubah menjadi kembali seperti saat gue kenal dia di bulan-bulan awal kelas 2, gue kembali menganggap dia sebagai cuma-temen-sekelas-biasa, kami udah gak seakrab saat beberapa minggu sebelumnya. Gue pun berangsur-angsur bisa menghilangkan perasaan gue terhadapnya. Cuma butuh waktu sebulan. Sebenarnya hubungan Yanti dengan cowok itu cuma bertahan selama 2 minggu, dan ketika mereka putus, Nur bilang ke gue, kalau gue masih berniat untuk deketin Yanti lagi, inilah saatnya. Saat itu di hati gue masih tersisa sedikit perasaan gue terhadap Yanti yang belum terhapus. Gue juga sempet berpikir untuk mendekati Yanti lagi. Tapi setelah gue pikir-pikir lebih dalam-dan setelah apa yang udah dia lakuin ke gue-gue memutuskan untuk melupakan sisa perasaan gue, karena buat gue juga, satu-satunya tanggal jadian yang cocok buat kami adalah 29 Februari 2008. Oh ya, gue juga akhirnya menyadari, kalo obsesi gue barusan adalah keegoisan gue. Gue udah egois dengan memaksakan untuk menunggu sampai tanggal 29 Februari, tetapi pada akhirnya, Yanti dengan keegoisannya juga yang membuat semua ini gak berjalan lancar. Benar-benar membuktikan kalau sikap egois tidak bisa diterima dalam menjalani suatu hubungan.

Dua bulan kemudian, bulan Mei. Hubungan gue dengan Yanti kembali membaik, kita mulai ngobrol lagi, dan terkadang sms-an, tapi gue membatasi hubungan ini untuk sebatas teman saja, gue menahan diri gue agar tidak jatuh cinta lagi, tiap gue ngerasa ada bibit-bibit cinta yang mulai tumbuh di hati gue, gue langsung membasmi habis mereka. Dan hubungan pertemanan tersebut terus terjalin mulus sampai kami berdua menjadi teman sekelas lagi ketika kelas 3, dan kami tetap menjadi teman baik sampai kami lulus SMA, walaupun kemudian kami sama-sama mulai kehilangan kontak ketika kami dipisahkan lautan untuk menjajaki kehidupan sebagai mahasiswa. Sampai hari ini, 4 tahun pun berlalu begitu saja tanpa meninggalkan noda berkesan dihubungan antara gue dengan Yanti.

Kembali ke waktu sekarang, gue masih duduk di depan laptop gue, pandangan gue menatap langit-langit kamar kostan gue seraya gue mengakhiri flashback memori gue waktu SMA. Lalu pandangan gue kembali ke layar laptop, yang masih menampilkan halaman utama Facebook. Gue membuka halaman profil Yanti lalu mengetikan sebuah wall post ucapan selamat ulang tahun kepadanya. Setelah selesai mengetik dan mengirim pesan tersebut gue terdiam sebentar sambil menatap foto profil Yanti, difoto tersebut dia masih terlihat cantik seperti dulu, melihat senyum manisnya seolah membangkitkan kembali perasaan yang sudah lama mati dan terkubur dalam di dasar hati gue. Lamunan gue tersadarkan oleh notifications yang muncul di sudut layar, Yanti merespon wall post gue, ternyata saat ini dia sedang online. Lalu gue baca beberapa baris kalimat di bawah wall post yang gue ketik tadi, dia menulis; “Heyy! Makasih ya Man! Btw, kamu apa kabar? Lagi di mana sekarang? Gimana kuliah kamu lancar? Udah lama juga ya kita gak berhubungan, aku abis ganti hp, aku minta nomer hp kamu lagi dong?”

Gue tersenyum setelah membaca kalimat tersebut, lalu mengetik balasannya sambil berpikir tentang apa yang sudah terjadi setelah kami saling bertukar nomor waktu SMA dulu. Gue penasaran apakah kami akan akrab lagi seperti dulu? Hmm, kita liat aja nanti!

Minggu, 26 Februari 2012

Kisah Cinta Si Laki-laki Pemalu Bag. 3 - Selesai


Satu minggu kemudian, hari H. Hari ini adalah hari ulang tahun yang ke 17 sekolah gue, dan sudah jadi tradisi tiap tahun untuk mengadakan acara perayaan. Saat ini sebuah panggung yang cukup besar berdiri megah di areal lapangan sepak bola sekolah gue, yang terletak di tengah dikelilingi oleh gedung-gedung kelas dan kantor guru. Saat ini di atas panggung sedang berlangsung pertunjukan drama persembahan anak-anak ekskul teater. Di belakang panggung, yang menjadi dekorasi adalah sebuah kalimat yang dibuat dari karangan bunga yang tertulis; “Happy Sweet Seventeen My Lovely School!”, ditambah dengan beberapa pernak-pernik dan lambang sekolah di bawahnya. Jauh di seberang panggung berdiri tenda dengan jejeran kursi di bawahnya, tempat guru-guru dan para undangan duduk menikmati acara. Sementara di depannya diberikan spot kosong yang digunakan oleh para murid untuk menonton acara yang berlangsung di atas panggung. Di sisi lain dari lapangan terdapat belasan stand bazaar yang menjual berbagai macam makanan, pernak-pernik, hingga pakaian yang semuanya hasil karya murid sekolah gue.

Saat ini gue sedang berkumpul sama temen-temen sekelas gue di pinggir lapangan, kerjaan kami hanya bercanda dan bolak-balik ke bazaar untuk mencicipi berbagai macam makanan, atau hanya untuk menggoda cewek-cewek yang sedang jualan. Gue belum ketemu sama Thara hari ini, karena dia sibuk sebagai anggota panitia acara hari ini, gue juga gak mau ganggu dia selama bertugas, tapi dia udah berjanji kalo pas break Maghrib-Isya nanti dia akan menemui gue. Juga karena setelah itu panggung akan dikuasai oleh penampilan anak-anak dari ekskul musik.

Hari semakin gelap, karena ulah Matahari yang menenggelamkan dirinya. Pukul 18.00, acara pun memasuki break selama 1 jam, segala aktivitas di atas panggung dan bazaar dihentikan sementara. Beberapa saat kemudian Adzan Maghrib berkumandang dari masjid di belakang areal sekolah, lalu orang berbondong-bondong pergi sana termasuk gue dan temen-temen gue yang nongkrong tadi. Seusai menjalankan ibadah, ketika di perjalanan kembali ke sekolah Thara sms gue; “Hey! Lagi dimana? Temuin gue di kantin dong J”. Setelah membalas sms-nya, gue memisahkan diri dari temen-temen gue lalu menuju ke kantin sekolah, rupanya Thara dan panitia acara lainnya sedang beristirahat di sana. 

Thara melihat gue datang lalu mengajak gue duduk di salah satu kursi panjang yang disediakan di areal kantin. “Duh, capeknya gue!” keluh Thara, sambil mengibaskan sekumpulan kertas ke wajahnya. “Cheer up, you’re doing great! Sejauh ini acara berjalan lancar dan gak ada masalah kan?” kata gue berusaha menyemangatinya. “Iya sih, untungnya sejauh ini gak ada masalah. Tapi gue sih lebih khawatir karena nanti masih ada pertunjukan yang harus gue tampil.” Thara berkata sambil ngelirik gue. “Haha, lo pasti bisa kok, tenang aja!” kata gue mencoba menenangkannya. “Eh, lo udah siapin kostum yang gue minta kan?” tanya Thara. “Iya udah. Nah, lo sendiri pake kostum apa nanti?”, “Hmph, ra-ha-sia, liat aja nanti!” Thara berkata sambil memberikan senyum iseng ke gue. “Iya deeeh.” balas gue menahan rasa penasaran.

“Nanti kita tampil urutan ke 8 ya! Terus lo langsung tampil lagi sama band lo abis itu.” kata Thara sambil memperhatikan secarik kertas yang merupakan rundown acara, lalu memperlihatkannya ke gue. Gue lihat memang nama ‘TiTha’, yang merupakan kependekan dari nama gue sama Thara-dia yang milih nama ini, bukan gue-ada di urutan tampil nomor 8, lalu di nomor 9 ada ‘Monkey Meets Banana’, nama band gue sama Wawan, dkk. “Saat kita tampil itu kira-kira jam setengah 9, jadi kurang lebih masih 2 jam lagi. Jadi masih sempet buat nyobain jajanan di bazaar, daritadi gue belum sempet ke sana. Nanti temenin yah?” pinta Thara sambil menatap gue manja, yang tentu saja gue turutin permintaannya.

Setelah puas wisata kuliner ala anak-anak SMA gue, gue sama Thara mencari tempat di depan panggung, waktu sudah jam setengah 8, sebentar lagi band pertama akan tampil untuk unjuk kebolehan. Saat ini mereka sedang bersiap-siap di atas panggung dan MC acara sedang menjalankan tugasnya yaitu mengalihkan perhatian penonton ketika peserta band masih bersiap-siap. Lalu band yang kesemua personilnya adalah murid kelas 1 memulai penampilan mereka, mereka membawakan lagu dari band Zigas yang berjudul “Sahabat Jadi Cinta”. Beberapa saat kemudian, band pertama sudah menyelesaikan penampilan mereka, dan langsung disusul oleh band kedua yang naik ke atas panggung.

Disela-sela hiruk-pikuk keramaian penonton Thara memberitahu gue kalau setelah band kedua ini tampil, dia mau pamit untuk mulai bersiap-siap dandan untuk tampil nanti. Yang pertama gue masih heran kenapa harus buru-buru karena masih ada 5 band lagi yang akan tampil-yang berarti masih ada sekitar 1 jam lagi-tapi terus gue sadar cewek emang butuh waktu yang-sangat-lama untuk merias diri. Jadi gue maklum. Sementara gue rasa gue hanya perlu ganti baju, cuci muka dan merapikan rambut, yang berarti gue baru akan bersiap-siap ketika band ke 7 sedang tampil.

Puluhan menit dan beberapa lagu kemudian, band ke 6 baru saja menyelesaikan penampilannya. Gue langsung beranjak dari tempat gue berdiri, menuju ke kelas untuk bersiap-siap. Setelah merasa udah cukup ganteng gue pun kembali ke lapangan, menuju ke belakang panggung tempat janjian gue sama Thara untuk ketemu. Ketika gue sampai di sana ternyata Thara belum tiba, barulah sekitar 2 menit kemudian sesosok cantik tampak di kedua bola mata gue, akhirnya gue tau alesan kenapa dia nyuruh gue pake kemeja berwarna merah, Thara tiba dengan mengenakan gaun berwarna merah terang dan memakai bando dengan warna yang sama. Di wajahnya terlukis make up dengan kadar yang sempurna, sehingga membuat wajahnya yang sudah cantik tanpa memakai make up pun, menjadi lebih cantik lagi. Dia tersenyum ketika sampai di depan gue, lipstick merah yang dioles tipis di bibirnya membuat senyumnya menjadi terlihat anggun. Kemudian Thara menggenggam tangan gue, sangat pas karena saat itu band ke 7 baru saja selesai dan nama kita berdua pun dipanggil ke atas panggung. “Are you ready?” tanya Thara. “Yes, let’s spread the love tonight!”. Lalu kami pun naik ke atas panggung.

Di atas panggung rasanya menjadi agak aneh ketika mendapati ratusan pasang mata menatap gue berdua dengan seorang cewek. Rasa malu yang udah gue kurung di dalam diri gue seolah ingin mendobrak keluar, karena diantara tepuk tangan yang mengalun terdapat juga teriakan heboh karena melihat kami berdua, yang gue yakin berasal dari orang-orang yang kenal kami. Thara kemudian menatap gue, gue bisa lihat dimatanya juga terpancar rasa malu, pipinya sedikit memerah. Gue tersenyum kepadanya seolah mengatakan “We can do it!”, lalu gue ambil Gitar dan gue sama Thara pun maju ke depan panggung. Setelah menyapa para hadirin, alunan musik terdengar dari Gitar yang gue mainin, pertunjukan pun dimulai!

“Do you hear me?”
“Talking to you”
“Across the water”
“Across the deep blue ocean”
“Under the open sky”
“Oh my, baby I’m trying”

“Boy, I her you in my dreams”
“I feel you whisper across the sea”
“I keep you with me in my heart”
“You make it easier when life gets hard”

“Lucky I’m in love with my best friend”
“Lucky to have been where I have been”
“Lucky to be coming home again”
“Oooh…”

Gue udah gak peduli sama rasa malu, saat ini gue konsentrasi penuh ke lagu, gue mengganggap saat ini hanya ada gue sama Thara, dan gue sedang menyatakan perasaan gue lewat lirik yang gue nyanyiin dengan sepenuh hati. Dan Thara pun tampaknya juga melakukan hal yang sama, dia tampil maksimal, suaranya terdengar sangat indah. Anehnya, penonton pun hanya terdiam, mungkin mereka terhipnotis dengan penampilan kami, mereka ikut terhanyut dalam alunan musik.

Beberapa saat kemudian, penampilan kami pun selesai. Penonton pun melemparkan tepuk tangan, mereka melakukan standing applause, yang sebenarnya karena mereka semua memang berdiri dan tidak disediakan tempat duduk di depan panggung. Diantara riuh ricuh penonton tiba-tiba terdengar kericuhan lain di samping panggung, dimana terdengar teriakan, “TEMBAK! TEMBAK! TEMBAK!”, “Ayoo To, tembak dia!”. Mereka adalah temen-temen sekelas gue. Lalu karena teriakan mereka yang memang sangat keras, jadinya makin banyak lagi yang meneriakan hal yang sama, kayaknya hampir semua penonton yang ada di depan panggung juga ikut meneriakannya. “AYO TEMBAK!”, “HAJAR!”, “TEMBAK BOS!” adalah beberapa macam teriakan yang terdengar dari arah penonton.

Gue melirik ke arah Thara, tampaknya dia kaget dengan situasi ini, dia cuma membalas menatap gue dengan tatapan bingung. Lalu tanpa menunggu lebih lama lagi, gue sambar tangan kanan Thara, dan gue berlutut di depan dia. Yah, emang gue akuin, keadaan sekarang udah kayak di sinetron-sinetron, tapi gue udah gak peduli, udah gue buang semua rasa ragu dan rasa malu, selain karena gue rasa saat ini gue udah gak bisa mundur lagi, gue harus mengatakannya sekarang juga!

Lalu gue mengeluarkan sebatang bunga Mawar Merah yang dari tadi gue sembunyiin di kantung celana gue, dan gue berikan pada Thara. Thara yang tadi kaget karena tingkah gue yang tiba-tiba berlutut di depan dia, menjadi tambah kaget. Sementara penonton makin riuh dan heboh karena melihat pertunjukan ekstra dari penampilan kami. “Jadi…lo udah ngerencanain ini sama temen-temen lo?”. Gue cuma membalas dengan tersenyum, lalu Thara pun mengambil bunga dari genggaman tangan gue, dan membalas juga senyum gue. Penonton menjadi semakin heboh, berbagai macam teriakan dan siulan terdengar dari arah mereka. Lalu gue berdiri dan mengambil mic yang tadi gue gunakan untuk nyanyi, keramaian dari penonton pun sedikit demi sedikit menghilang, mereka seolah memberikan gue kesempatan untuk bicara. Gue berdiri di depan Thara, menatap matanya, sementara tangan kiri gue masih menggenggam tangan kanannya. Gue mengambil nafas, lalu berkata dalam hati kalau inilah saatnya.

“Thara, waktu itu lo pernah nanya ke gue kenapa gue milih lagu tadi buat kita bawain malam ini,” kata gue memulai pidato cinta gue. “Itu karena, gue merasa lagu itu cocok sama perasaan gue selama ini. Gue merasa beruntung karena punya sesosok cewek yang sempurna, yang menjadi sahabat baik gue selama ini. Hari-hari gue menjadi indah karena kehadiran lo.”. Gue masih menatap mata Thara dalam, genggaman kia berdua menjadi semakin erat. Gue berhenti sebentar untuk mengambil nafas, lalu kembali melanjutkan pidato cinta gue, “Dan gue harap, hari-hari seperti ini akan terus berlanjut dan akan menjadi lebih indah, dengan lo menjadi kekasih gue. Lo mau gak?”. Penonton masih terdiam, hanya terdengar beberapa siulan dan beberapa orang yang berteriak “TERIMA! TERIMA!”. Lalu gak butuh waktu lama buat Thara untuk menjawab proposal gue, dia menarik tangan gue yang memegang mic dan mengarahkan ke depan mulutnya. “Iya, gue mau!”. Setelah mendengar jawaban dia gue ngerasa suatu perasaan yang belum pernah gue rasain sebelumnya, sebuah perasaan ketika rasa cinta kita diakuin oleh orang yang kita sayang. Gue merasa sangat bahagia. Lalu tanpa diduga-duga Thara meluk gue, langsung gue balas pelukannya. Dan inilah kami, berpelukan erat di atas panggung dengan diiringi alunan tepuk tangan dan semua kehebohan dari penonton.

Di belakang panggung, ternyata temen-temen band gue udah berkumpul di sana, gue baru inget kalau gue harus tampil lagi setelah melihat mereka. “Weisss, selamat ya, bro! That was quite a show!” kata Wawan ke gue, lalu disusul ucapan selamat dari temen-temen gue lainnya. Lalu kami berlima pun naik ke atas panggung memenuhi panggilan MC. Thara menyemangati gue dan berkata kalau dia akan menonton dari depan panggung.

Penampilan kami dibuka dengan membawakan lagu “Diam Tanpa Kata” dari band D’Masiv. Penonton pun berjingkrak-jingkrak mengikuti beat lagu. Lalu sebelum lagu kedua dimulai Wawan berkata ke penonton, “Tadi kita baru saja menyaksikan keajaiban dari cinta, dua orang anak muda yang saling mencintai dipersatukan di bawah alunan musik, di atas panggung ini.” penonton pun kembali bersorak, lalu Wawan melanjutkan kata-katanya, “Maka dari itu, lagu berikutnya yang akan kami bawakan, kami persembahkan untuk mereka semua yang percaya bahwa cinta itu indah. Khususnya untuk kedua sahabat kami yang baru saja bersatu malam ini!”. Gue tersenyum mendengar kata-kata Wawan, lalu gue menatap Thara yang berdiri di antara kerumunan penonton, dia pun sedang tersenyum melihat gue. Lalu lagu kedua, “Kau Dan Aku” dari Nidji pun kami bawakan.

Penampilan kami pun kembali mampu menghipnotis penonton, sebagian dari mereka ikut menyanyikan liriknya. Dan hebatnya lagi, ketika reff pertama, penonton di depan panggung mundur untuk membentuk sebuah lingkaran yang cukup luas, yang kemudian diisi oleh beberapa pasangan yang berdansa di sana, entah mereka memang beneran pasangan atau hanya teman yang ingin sekedar berdansa. Lalu di jeda sebelum masuk ke reff kedua Wawan menghampiri gue dan berkata ke gue, “To, mending Gitarnya kasih ke gue, lo turun aja gih, ikut goyang sama cewek lo!”. Gue menoleh dan tersenyum ke Wawan, lalu gue berikan Gitar gue ke dia. Gue langsung turun dari panggung dan menuju ke depan panggung, di sana Thara udah menunggu gue dengan senyuman dan menjulurkan tangannya. Gue langsung menyambar tangannya, lalu kami berdua pun ikut bergoyang di antara pasangan-pasangan lain di tengah kerumunan penonton, sambil diiringi lagu yang mengalun dari atas panggung. Gue sama Thara berdansa di dalam indahnya bahagia rasa cinta, kami berharap kata-kata yang sedang kami dengar saat ini akan meresap ke dalam hati kami, lalu menjadi janji tak tertulis yang akan menjaga hubungan kita agar abadi untuk selamanya.

“Kau dan aku selalu untuk selamanya…”

Minggu, 19 Februari 2012

Kisah Cinta Si Laki-laki Pemalu Bag. 2

Keesokan harinya. Gue ngerasa sama sekali gak semangat untuk masuk sekolah, semalem tidur gue juga gak nyenyak. Semua ini karena kejadian tak terduga beruntun yang terjadi kemarin, satu kejadian tak terduga yang bagus karena gue bisa kenal cewek pujaan gue selama ini, lalu satu lagi kejadian tak terduga buruk dimana gue salah ngomong sehingga berujung ‘ngasih’ cewek yang gue taksir ke temen gue. Cewek tersebut bernama Thara. Thara sangat cantik dan memiliki suara yang indah. Gue yakin temen gue Cozy, si maniak cewek bersuara indah, pasti tertarik dan bakal mudah bagi dia untuk deketin Thara. Sementara gue ngerasa kalo gue gak punya tandingan untuk rebutan cewek sama Cozy.

Waktu menunjukan pukul setengah 7 kurang, gue sedang menghabiskan sarapan gue. Gue makan dengan tatapan kosong, karena pikiran gue sedang berkecamuk memikirkan yang akan terjadi sepulang sekolah nanti. Gue masih berpikir sambil menghabiskan sisa beberapa sendok Nasi Uduk sarapan gue. Menurut gue, Cozy pasti tertarik sama Thara, sementara Thara juga kemungkinan besar akan tertarik sama Cozy, dia lebih ganteng dari gue. Kayaknya gue gak bisa mengharapkan mereka berdua. Apa gue coba aja sekali lagi jelasin ke si Cozy ya?

Setelah selesai makan, gue ambil handphone lalu bersiap-siap mengetik sms ke Cozy. Sebenernya gue masih ragu, tapi gue juga udah bener-bener cinta sama Thara, perasaan yang udah tumbuh selama sebulan lebih, karena itu gue gak pengen semudah itu merelakan Thara sama orang lain, meskipun sama sobat gue sendiri. Beberapa saat kemudian gue berhasil ngetik sms untuk dikirim ke Cozy, tapi sebelum sempat gue kirim sebuah sms masuk ke handphone gue, ternyata dari Cozy. “Hoi, To! Semalem gue sampe susah tidur lho mikirin hari ini, gue emang selalu deg-degan tiap mau denger suara cewek yang baru akan gue kenal, haha. Anyway, sampe ketemu di sekolah ya! J”. Gue baca sms tersebut sambil ngebayangin muka excited Cozy, gue jadi teringet waktu kemarin dia bilang gue sobat terbaik dia, alhasil gue gak jadi ngirim sms ke dia. Lalu gue pun berangkat sekolah dengan perasaan gundah gulana.

Selesai jam pelajaran, Cozy sudah menunggu gue di depan kelasnya yang terletak di sebelah kelas gue. Di raut wajahnya masih tergambar raut excited seperti saat kemarin. Setelah makan siang berdua di kantin, dengan langkah berat gue terpaksa menggiring Cozy ke gedung kesenian. Kami berdua masuk melewati pintu samping, dan di dalam ternyata sudah cukup ramai, beberapa anak sedang menyiapkan set alat band di atas panggung, sementara anak-anak lainnya ada yang sedang memainkan alat musik, atau hanya sekedar mengobrol satu sama lain.

Gue berjalan ke arah depan panggung, Cozy masih mengikuti di belakang gue. Setelah melewati beberapa orang, gue liat Thara sedang mengobrol dengan seorang cewek di samping panggung, langsung gue hampiri dia. Beberapa langkah sebelum gue sampai ke tempatnya berdiri Thara melihat gue, lalu dia menyapa gue dengan suara indahnya. “Hei, To! Akhirnya yang gue tunggu-tunggu dateng juga!” katanya sambil tersenyum. Karena gue masih ngerasa gak nyaman karena ada Cozy, gue gak begitu denger apa aja yang dia bilang barusan, gue cuma membalas menyapanya. “Iya, hai Ra..oh ya, ada yang mau ketemu nih sama lo…”, “Oh ya? Siapa?” tanya Thara. Gue agak menyingkir lalu melirik ke arah Cozy, dia sedang melihat ke arah kerumunan cewek yang sedang menyanyi, mereka berdiri mengelilingi seorang cewek yang duduk mengiringi mereka dengan bermain gitar. Lalu Cozy menoleh ke arah gue sebentar kemudian mengalihkan pandangannya ke Thara. Lalu tanpa aba-aba dia langsung berdiri melewati gue menghampiri Thara, kemudian menyapanya. “Hei, gue Cozy. Lo yang namanya Thara ya?” kata Cozy sambil tersenyum. “Cozy? Iya, gue Thara. Ada perlu apa ya?” jawab sekaligus tanya Thara. Cozy masih terlihat bersemangat, nampaknya dia cukup puas dengan penampilan dan suara Thara. Kayaknya gue harus siap-siap cari gebetan baru, yang mungkin baru 3 bulan lagi baru bisa dapet.

“Gue mau gabung ke ekskul musik dong!” kata Cozy bersemangat. “Mau gabung? Hmm, emang apa alesan lo mau gabung sama kita?” tanya Thara. “Gue mau denger suara lo nyanyi..eh, maksud gue, gue mau belajar musik tentunya!” kata Cozy masih bersemangat. Thara menatapnya dengan tatapan ragu, lalu berkata, “Yakin itu alesan lo?”, “Iyalah! Gue mau denger lo nyanyi dong!?” pinta Cozy. “Denger gue nyanyi? Emang kenapa?” tanya Thara, nampaknya dia semakin ragu. “Abis katanya suara lo indah!” jawab Cozy. “Kata siapa?”, “Kata Tito.”, Thara lalu menatap gue dengan tatapan skeptisnya. Duh, kayaknya dia bakal ngebenci gue karena udah bawa orang aneh ke sini. “Ayo dong nyanyi!” bujuk Cozy ke Thara. “Iya-iya, tapi gue cuma mau nyanyi kalo diiringin gitarnya Tito.” Thara mengatakan hal yang sulit gue percaya. Kalo gue adalah tokoh dalam komik, pasti di atas kepala gue muncul balon dialog dengan tanda seru yang besar di dalamnya, lalu balon berikutnya dengan kata ‘EH?’ yang besar di dalamnya, menunjukan respon di dalam kepala gue ketika mendengar ucapannya tadi.

Gue masih terkejut dengan apa yang gue denger, sementara Thara menatap gue dengan tatapan seolah menyuruh gue untuk mau mengiringi dia menyanyi. Kemudian gue agak sedikit tersadar ketika Cozy menyentuh gue dengan sikunya, lalu berkata sambil berbisik, “Man, ayo dong iringin dia nyanyi, gue pengen denger nih,”, “I..Iya..” gue cuma bisa ngerespon singkat. Thara menatap gue sebentar, lalu berkata, “Yaudah, tunggu di sini, gue pinjem Gitar dulu.” kemudian dia berjalan menghampiri sekelompok cewek yang sedang bernyanyi tadi, dia terlihat bercakap-cakap sambil sesekali melirik ke arah gue dan Cozy, beberapa saat kemudian dia berjalan kembali sambil menenteng sebuah Gitar. Ketika dia kembali langsung disodorkan Gitar yang tadi dipinjamnya ke gue, “Nih! Gue mau nyanyi lagu Agnes Monica yang judulnya ‘Karena Kusanggup’,” kata Thara. Cozy terlihat senang mendengarnya, lalu bergumam, “Wah, langsung minta lagunya Agnes, pasti suaranya emang beneran bagus!”. Gue pun setuju dengan Cozy, Thara tampaknya ingin memperlihatkan kemampuannya, dan sialnya, Cozy pasti terpesona mendengarnya.

Gue membenarkan posisi gue memegang Gitar, lalu mulai memainkan kord lagu yang diminta Thara. Gue udah pasrah, gue ikutin aja deh permintaan Thara. Nada mulai mengalun keluar dari Gitar yang gue mainin, lalu Thara pun mulai menyanyi. Sebait dua bait dia nyanyikan tidak ada masalah, namun agaknya ada yang aneh dengan suaranya. Karena sangat berbeda dengan ketika dia nyanyi kemarin di markas seni musik. Suaranya berbeda, seperti agak malas menyanyikannya, dia pun tidak memperdengarkan teknik olah vokalnya, dia hanya menyanyi datar. Apa dia sengaja ya?

Cozy masih fokus mendengar sambil mengernyitkan dahi. Lagu sudah memasuki bagian reff, Thara masih menyanyi dengan suaranya yang berbeda. Lalu ketika memasuki bagian yang mengharuskan dia untuk teriak dan dia tidak melakukannya dengan benar, Cozy menyuruh gue berhenti, kayaknya dia gak puas sama apa yang dia denger. Lalu berkata ke gue, “To, kata lo dia jago nyanyi dan suaranya bagus? Kok begini?”, “Me…menurut gue, suara dia pas nyanyi tadi bagus kok.” kata gue terbata sambil melirik ke arah Thara, yang sedang menatap ke arah gue sama Cozy. “Ah, payah lo, man, ternyata selera lo dalam menilai suara cewek beda jauh sama gue,” cibir Cozy. “Gimana udah puas?” kata Thara menyelak pembicaraan. “Hmm, ya lumayan! Tapi…kayaknya gue gak jadi masuk ekskul ini sekarang deh, gue ada urusan mendadak. Jadi gue cabut ye! Sorry udah ganggu acara latian kalian.” kata Cozy ke Thara lalu bersiap-siap untuk beranjak pergi. Ketika lewat di depan gue dia berbisik, “Gue duluan deh, man, gue cari cewek sendiri aja, lebih terjamin!” gue cuma merespon dengan mengangguk, lalu Cozy berjalan menuju pintu keluar, gue memperhatikannya berjalan sampai hilang dibalik pintu, ada sedikit perasaan gak enak karena udah bikin sobat gue kecewa.

Sementara Thara masih berdiri di belakang gue, gue masih takut dia akan ngebenci gue karena kejadian barusan. Gue bingung harus bilang apa ke dia, apa gue harus minta maaf? Namun sebelum gue sempat membalik badan dan berkata sesuatu ke dia, tiba-tiba dia ada di sebelah gue, dengan satu tangannya di atas pundak gue, lalu berkata, “Hei, makasih ya tadi udah ngebela gue,” gue menoleh ke arahnya, lalu tatapan mata kita berdua pun bertemu. Gue jadi ngerasa gugup dengan hal ini, dan menjadi salah tingkah, tapi gue berusaha untuk menguasai keadaan. “Eh..ngebela lo..yang mana ya?” kata gue sambil sedikit terpatah-patah. “Tadi, waktu lo bilang suara gue pas nyanyi tadi bagus, padahal sengaja gue jelek-jelekin.” kata Thara. “Oh itu..lo sengaja ya, pantesan beda banget sama kemarin. Emang kenapa lo jelek-jelekin?” tanya gue. “Yah, tadinya gue berniat buat nunjukin kemampuan gue nyanyi, tapi pas gue tadi minjem Gitar, gue dikasih tau sama cewek-cewek di sana,” dia berkata sambil menunjuk ke sekelompok cewek yang sedang acapella di seberang dari tempat gue berdiri sekarang. “Gue dikasih tau kalo temen lo yang tadi itu, dia si anak kelas 1.9 yang gila sama suara cewek kan? Ternyata ada gosip di antara cewek-cewek, kalo dia udah nolak semua cewek dari kelas 1 cuma karena suaranya gak ada yang dia suka. Gila, sok banget gak tuh? Emang sih dia ganteng, tapi kalo caranya gitu mana ada cewek bener yang mau sama dia?” kata Thara menjelaskan panjang lebar. Oh, ternyata begitu! Gue tertolong karena ulah si Cozy sendiri, gue juga baru tau kalau sekarang dia punya imej begitu di antara cewek-cewek. Yah, sebenernya gue kasian juga sama sobat gue yang aneh itu, tapi untuk saat ini biarlah, mungkin suatu saat gue akan ngebantu dia lagi, tetapi bukan ke Thara lagi tentunya!

“Dan makasih lagi ya, To,” kata Thara sambil setengah berbisik. “Tadi dia ke sini gara-gara lo ngasih tau dia suara gue bagus kan? Gue sih gak suka akibatnya, tapi gue seneng lo bilang begitu!” lanjutnya, lalu memperlihatkan senyumnya yang indah. Dengan melihatnya kadar cinta gue rasanya naik berkali-kali lipat. Gue pun membalas senyumnya, lalu kembali mengobrol. Tak lama kemudian temen-temen band gue dateng, lalu sesuai janjinya kemarin, Thara menonton gue latian sama temen-temen. Hari ini gue kembali ngerasa bahagia kayak kemarin, tetapi gue rasa, kebahagiaan kali ini akan terus terasa sampai selamanya. Hmm, Hiperbola deh.

Hari-hari berikutnya, kehidupan SMA gue terasa indah. Gue sama Thara semakin deket, dia jadi sering lagi main ke markas seni musik seselesai sekolah, terkadang dia sampai bela-belain bolos les pelajaran di hari Senin agar bisa nonton gue latian band di gedung kesenian. Dan karena kita sering menghabiskan waktu bersama, gue pun udah gak gugup lagi berlaku di depan dia, gue udah bisa berlaku normal selayak gimana diri gue. Gue bahagia karena akhirnya bisa deket sama cewek yang dulu gue taksir diam-diam, dan kayaknya gue harus segera melepas topeng dan berhenti menjadi Ninja dengan tidak lagi menyembunyikan perasaan gue yang sebenarnya ke Thara.

Namun hal ini menjadi masalah baru bagi gue, setelah gue berhasil mengatasi masalah lama gue ketika berhadapan dengan cewek, ternyata masalah yang lebih berat menghadang. Gue belum pernah nembak cewek sebelumnya. Beberapa kali ketika gue sedang berduaan sama Thara, entah ketika itu sedang berdua di markas seni musik atau ketika kita sedang malam mingguan di salah cafĂ© di dekat sekolah, gue ngebayangin kalo saat itu gue akan nembak dia. Gue udah kepikiran kata-kata ‘ajaib’-nya, tapi untuk mengatakannya, sangat-sangat-sangatlah sulit. Gue belum punya keberanian untuk mengatakan-‘nya’. Padahal gue sangat beruntung, karena suatu waktu Thara cerita kalau dia baru 2 bulan yang lalu diputusin pacarnya yang pergi merantau untuk kuliah di luar kota.

3 minggu berlalu sejak hari gue dikira maling di markas seni musik. Saat ini, hari Jumat, malam Sabtu, gue lagi sms-an sama Thara, suatu hal yang saat ini udah terbiasa gue lakuin. Obrolan kita berdua lagi sekitar acara ulang tahun sekolah yang akan diadakan hari Sabtu minggu depan, di salah satu sms-nya, Thara yang akan bertugas sebagai salah satu pengurus Seksi Acara bilang kalo ekskul seni musik masih kekurangan peserta untuk tampil di acara nanti. Mengetahui hal itu, tiba-tiba terbersit di kepala gue ide untuk mengajak Thara tampil duet menyanyikan lagu sama gue, gue langsung coba menanyakannya di-sms berikutnya, lalu ia membalasnya seperti ini; “Nyanyi duet!? Boleh juga tuh ide lo! Tapi, emangnya lo bisa nyanyi? Hehehe”, gue tersenyum membacanya, lalu langsung mengetik sms balasan; “Bisa kok! Lagian kan masih ada waktu seminggu untuk latian, terus ada lo juga yang bisa ajarin gue nyanyi, hehe. Tapi yang penting, lo mau gak?”.

Gak perlu waktu lama untuk menerima sms balasan darinya yang berbaca; “Mauuuuuuu kok! J Mulai besok aja kita latihan, gimana? Di rumah gue ya tapi! Oh ya, terus mau bawain lagu apa?”. Ini dia, lagu apa ya kira-kira? Lagu romantis yang bisa menggambarkan keadaan gue sama Thara saat ini. Tiba-tiba gue teringat lagu Jason Mraz yang dinyanyikan dengan Colbie Caillat, berjudul “Lucky”. “Perfect!” pikir gue, lagu itu kayaknya cukup mewakili perasaan gue sekarang, selain itu, lagu itu juga lagu duet, kian menambah sempurna rencana gue. Langsung gue ketik sms balasan untuk Thara; “Gue tau lagu yang bagus! Lagunya Jason Mraz feat. Colbie Caillat! “Lucky”! Gimana menurut lo?” beberapa detik kemudian sms sudah terkirim, gue tinggal menunggu balasan. Kira-kira gimana ya responnya? Apa dia setuju? Apa menurutnya lagu itu juga ‘perfect’ untuk kita bawain? Apa jangan-jangan  dia bisa ngeliat maksud tersembunyi gue dibalik semua ini? Di dalam kepala gue muncul berbagai macam pertanyaan dan dugaan, selain itu Thara gak kunjung membalas sms gue, 10 menit berlalu, gue takut jangan-jangan dia tau kalo gue suka sama dia? Dan sebenernya dia gak mau itu? Gue masih berpikir macam-macam sebelum akhirnya 5 menit kemudian, sms yang ditunggu-tunggu pun tiba. Langsung gue baca; “Maaaaf To balesnya lama, tadi gue dipanggil mama, hehe. Wah, bener juga, “Lucky” ya? Perfect! Gue setuju deh.” gue seneng setengah mati baca sms balasannya, ternyata dia berpikir hal yang sama, menurutnya lagu itu sempurna untuk kita! Lalu gue baca lanjutannya dari isi sms-nya; “Yaudah, besok lo ke sini ya! Bawa Gitar lo, besok gue sms deh jamnya oke? J Oh ya btw, lo tau gak bla..bla..bla…”. Lalu kita lanjut sms-an ria sampai larut, walaupun sebenernya gue pengen cepet-cepet tidur karena gak sabar untuk besok datang ke rumahnya. Uh, kayaknya gue bakal mimpi indah malam ini!

Keesokan harinya, sekitar jam 1 siang gue sampai di depan rumah Thara. Lalu dia keluar dan menyambut gue. Ini bukan pertama kalinya gue ke sini, karena sebelumnya sudah beberapa kali gue mengantar dia pulang sepulang sekolah, tapi baru kali ini gue masuk ke rumahnya. Gue ketemu dengan ibunya, juga dengan adik satu-satunya yang masih kelas 2 SD. Lalu kami berdua duduk di teras depan, setelah bercengkrama beberapa saat, kami pun memulai latihan.

Tidak terasa 3 jam sudah berlalu. Gue selalu sebel kenapa tiap kita melewatkan waktu melakukan hal yang kita senang waktu terasa begitu cepat berlalu, sungguh suatu fenomena yang gue sangat ingin tau jawabannya. Saat ini gue sama Thara masih bercengkrama di teras depan rumahnya, latihan lagunya kami rasa cukup untuk hari ini, walaupun dari tadi gue rasa lebih banyak ngobrolnya daripada latihannya. Saat ini Thara sedang bercerita tentang pengalamannya pentas satu tahun yang lalu, “Masa nih ya, waktu gue nyanyi, tiba-tiba ada bapak-bapak dari bawah maksa naik ke atas panggung, terus dia joget-joget gitu di sebelah gue, dan yang lebih absurd lagi, sebelum dia turun dia ngasih gue selembar duit 100 ribuan, gue disawer! Gila gak tuh? Emangnya gue penyanyi Dangdut apa? Selesai manggung gue diketawain sama temen-temen band gue, tapi abis puas ngetawain gue mereka malah minta ditraktir pake duit saweran tadi, sialan banget deh pokoknya!” kata Thara menggebu-gebu. Gue tertawa mendengarnya, lalu dia pun ikut tertawa. Cara dia menceritakan sesuatu sangat menyenangkan, ceritanya jadi terdengar lebih seru, ini juga yang jadi salah satu alasan gue betah ngobrol lama-lama sama dia.

Setelah Thara selesai menceritakan kisahnya tadi, keadaan menjadi sunyi selama beberapa detik, kami seakan kehabisan atau kebanyakan hal untuk dibicarakan, jadi bingung mau ngomongin apa lagi. Gue juga lagi mikir ingin membahas topik apa lagi sebelum tiba-tiba Thara mengagetkan gue dengan pertanyaannya. “Eh ya, gue mau nanya deh, boleh kan?” tanya Thara, tiba-tiba raut wajahnya menjadi serius. “Boleh lah, emang mau nanya apa deh?” jawab sekaligus tanya gue. Thara masih menatap gue serius, lalu setelah menghela nafas, dia kembali bertanya, “Gue mau tau alesan lo kenapa milih lagu ‘Lucky’ buat kita nyanyiin nanti?”, “G..g..gak ada alesan apa-apa kok, menurut gue lagu itu bagus aja,” karena kaget dan tiba-tiba merasa gugup, gue menjawab tanpa berpikir, jawaban yang salah. “Yakin gak ada alesan khusus?” tanya Thara lagi, yang masih menatap gue serius. “I..iya gak ada kok…” jawab gue asal lagi. Thara lalu mengalihkan pandangannya, tampaknya dia kecewa dengan jawaban gue. Lagian kenapa gak gue bilang aja sih yang sejujurnya? Duh, bodohnya gue! Sekarang gue harus mengatakan sesuatu, kalau gak kesempatan gue sama Thara bisa hancur gara-gara blunder gue barusan.

“Emm, ta..tapi..” kata gue sambil terbata, lalu Thara menoleh dan menatap gue kembali, diwajahnya tergambar raut muka bete. “Hmm, gi..gimana kalo kita anggap gini aja, gue pu..punya alesan khusus, tapi gue gak bisa ka..kasih tau lo sekarang, tapi gue bakal ngasih tau lo pas acara ulang tahun sekolah kita nanti, gi..gimana?” kata gue dengan susah payah menahan gagap dan rasa malu, Thara masih menatap gue dengan raut betenya, lalu berkata, “Kenapa harus saat itu? Kenapa gak sekarang aja?”, “Yah…bi..biar seru aja, he..ehehe,” jawab gue sambil memaksakan untuk tersenyum. Sementara Thara hanya terdiam menatap gue selama beberapa saat, lalu tanpa diduga-duga dia pun berkata, “Hmph, baiklah, gue ikutin cara lo. Tapi, lo janji ya lo harus bilang saat itu!”. Mendengar hal itu gue serasa baru saja keluar dari dalam perut Buaya dalam keadaan masih hidup, gue selamat dari kesalahan gue sendiri! Sekarang kesempatan gue masih terjaga, tinggal menyiapkan mental untuk benar-benar ‘mengatakannya’ minggu depan. “Iya, gue janji!” kata gue ke Thara, lalu dia pun tersenyum manis. Ah, cewek emang makhluk yang gak bisa ditebak!

Di perjalanan pulang pikiran gue menerawang jauh memikirkan minggu depan. Kayaknya gue harus memikirkan suatu rencana untuk menyatakan cinta gue ke Thara. Tapi gue mau sesuatu yang gak biasa, tapi..gimana ya enaknya? “Ah! Benar juga!”, tiba-tiba terbersit ide brilian di kepala gue. Yang lalu gue pikirkan dan matangkan di sepanjang perjalanan gue pulang ke rumah. Hmm, gue gak sabar menunggu hari Sabtu depan!

Bersambung