Satu minggu kemudian, hari H. Hari ini adalah hari ulang tahun yang ke 17 sekolah gue, dan sudah jadi tradisi tiap tahun untuk mengadakan acara perayaan. Saat ini sebuah panggung yang cukup besar berdiri megah di areal lapangan sepak bola sekolah gue, yang terletak di tengah dikelilingi oleh gedung-gedung kelas dan kantor guru. Saat ini di atas panggung sedang berlangsung pertunjukan drama persembahan anak-anak ekskul teater. Di belakang panggung, yang menjadi dekorasi adalah sebuah kalimat yang dibuat dari karangan bunga yang tertulis; “Happy Sweet Seventeen My Lovely School!”, ditambah dengan beberapa pernak-pernik dan lambang sekolah di bawahnya. Jauh di seberang panggung berdiri tenda dengan jejeran kursi di bawahnya, tempat guru-guru dan para undangan duduk menikmati acara. Sementara di depannya diberikan spot kosong yang digunakan oleh para murid untuk menonton acara yang berlangsung di atas panggung. Di sisi lain dari lapangan terdapat belasan stand bazaar yang menjual berbagai macam makanan, pernak-pernik, hingga pakaian yang semuanya hasil karya murid sekolah gue.
Saat ini gue sedang berkumpul sama temen-temen sekelas gue di pinggir lapangan, kerjaan kami hanya bercanda dan bolak-balik ke bazaar untuk mencicipi berbagai macam makanan, atau hanya untuk menggoda cewek-cewek yang sedang jualan. Gue belum ketemu sama Thara hari ini, karena dia sibuk sebagai anggota panitia acara hari ini, gue juga gak mau ganggu dia selama bertugas, tapi dia udah berjanji kalo pas break Maghrib-Isya nanti dia akan menemui gue. Juga karena setelah itu panggung akan dikuasai oleh penampilan anak-anak dari ekskul musik.
Hari semakin gelap, karena ulah Matahari yang menenggelamkan dirinya. Pukul 18.00, acara pun memasuki break selama 1 jam, segala aktivitas di atas panggung dan bazaar dihentikan sementara. Beberapa saat kemudian Adzan Maghrib berkumandang dari masjid di belakang areal sekolah, lalu orang berbondong-bondong pergi sana termasuk gue dan temen-temen gue yang nongkrong tadi. Seusai menjalankan ibadah, ketika di perjalanan kembali ke sekolah Thara sms gue; “Hey! Lagi dimana? Temuin gue di kantin dong J”. Setelah membalas sms-nya, gue memisahkan diri dari temen-temen gue lalu menuju ke kantin sekolah, rupanya Thara dan panitia acara lainnya sedang beristirahat di sana.
Thara melihat gue datang lalu mengajak gue duduk di salah satu kursi panjang yang disediakan di areal kantin. “Duh, capeknya gue!” keluh Thara, sambil mengibaskan sekumpulan kertas ke wajahnya. “Cheer up, you’re doing great! Sejauh ini acara berjalan lancar dan gak ada masalah kan?” kata gue berusaha menyemangatinya. “Iya sih, untungnya sejauh ini gak ada masalah. Tapi gue sih lebih khawatir karena nanti masih ada pertunjukan yang harus gue tampil.” Thara berkata sambil ngelirik gue. “Haha, lo pasti bisa kok, tenang aja!” kata gue mencoba menenangkannya. “Eh, lo udah siapin kostum yang gue minta kan?” tanya Thara. “Iya udah. Nah, lo sendiri pake kostum apa nanti?”, “Hmph, ra-ha-sia, liat aja nanti!” Thara berkata sambil memberikan senyum iseng ke gue. “Iya deeeh.” balas gue menahan rasa penasaran.
“Nanti kita tampil urutan ke 8 ya! Terus lo langsung tampil lagi sama band lo abis itu.” kata Thara sambil memperhatikan secarik kertas yang merupakan rundown acara, lalu memperlihatkannya ke gue. Gue lihat memang nama ‘TiTha’, yang merupakan kependekan dari nama gue sama Thara-dia yang milih nama ini, bukan gue-ada di urutan tampil nomor 8, lalu di nomor 9 ada ‘Monkey Meets Banana’, nama band gue sama Wawan, dkk. “Saat kita tampil itu kira-kira jam setengah 9, jadi kurang lebih masih 2 jam lagi. Jadi masih sempet buat nyobain jajanan di bazaar, daritadi gue belum sempet ke sana. Nanti temenin yah?” pinta Thara sambil menatap gue manja, yang tentu saja gue turutin permintaannya.
Setelah puas wisata kuliner ala anak-anak SMA gue, gue sama Thara mencari tempat di depan panggung, waktu sudah jam setengah 8, sebentar lagi band pertama akan tampil untuk unjuk kebolehan. Saat ini mereka sedang bersiap-siap di atas panggung dan MC acara sedang menjalankan tugasnya yaitu mengalihkan perhatian penonton ketika peserta band masih bersiap-siap. Lalu band yang kesemua personilnya adalah murid kelas 1 memulai penampilan mereka, mereka membawakan lagu dari band Zigas yang berjudul “Sahabat Jadi Cinta”. Beberapa saat kemudian, band pertama sudah menyelesaikan penampilan mereka, dan langsung disusul oleh band kedua yang naik ke atas panggung.
Disela-sela hiruk-pikuk keramaian penonton Thara memberitahu gue kalau setelah band kedua ini tampil, dia mau pamit untuk mulai bersiap-siap dandan untuk tampil nanti. Yang pertama gue masih heran kenapa harus buru-buru karena masih ada 5 band lagi yang akan tampil-yang berarti masih ada sekitar 1 jam lagi-tapi terus gue sadar cewek emang butuh waktu yang-sangat-lama untuk merias diri. Jadi gue maklum. Sementara gue rasa gue hanya perlu ganti baju, cuci muka dan merapikan rambut, yang berarti gue baru akan bersiap-siap ketika band ke 7 sedang tampil.
Puluhan menit dan beberapa lagu kemudian, band ke 6 baru saja menyelesaikan penampilannya. Gue langsung beranjak dari tempat gue berdiri, menuju ke kelas untuk bersiap-siap. Setelah merasa udah cukup ganteng gue pun kembali ke lapangan, menuju ke belakang panggung tempat janjian gue sama Thara untuk ketemu. Ketika gue sampai di sana ternyata Thara belum tiba, barulah sekitar 2 menit kemudian sesosok cantik tampak di kedua bola mata gue, akhirnya gue tau alesan kenapa dia nyuruh gue pake kemeja berwarna merah, Thara tiba dengan mengenakan gaun berwarna merah terang dan memakai bando dengan warna yang sama. Di wajahnya terlukis make up dengan kadar yang sempurna, sehingga membuat wajahnya yang sudah cantik tanpa memakai make up pun, menjadi lebih cantik lagi. Dia tersenyum ketika sampai di depan gue, lipstick merah yang dioles tipis di bibirnya membuat senyumnya menjadi terlihat anggun. Kemudian Thara menggenggam tangan gue, sangat pas karena saat itu band ke 7 baru saja selesai dan nama kita berdua pun dipanggil ke atas panggung. “Are you ready?” tanya Thara. “Yes, let’s spread the love tonight!”. Lalu kami pun naik ke atas panggung.
Di atas panggung rasanya menjadi agak aneh ketika mendapati ratusan pasang mata menatap gue berdua dengan seorang cewek. Rasa malu yang udah gue kurung di dalam diri gue seolah ingin mendobrak keluar, karena diantara tepuk tangan yang mengalun terdapat juga teriakan heboh karena melihat kami berdua, yang gue yakin berasal dari orang-orang yang kenal kami. Thara kemudian menatap gue, gue bisa lihat dimatanya juga terpancar rasa malu, pipinya sedikit memerah. Gue tersenyum kepadanya seolah mengatakan “We can do it!”, lalu gue ambil Gitar dan gue sama Thara pun maju ke depan panggung. Setelah menyapa para hadirin, alunan musik terdengar dari Gitar yang gue mainin, pertunjukan pun dimulai!
“Do you hear me?”
“Talking to you”
“Across the water”
“Across the deep blue ocean”
“Under the open sky”
“Oh my, baby I’m trying”
“Boy, I her you in my dreams”
“I feel you whisper across the sea”
“I keep you with me in my heart”
“You make it easier when life gets hard”
“Lucky I’m in love with my best friend”
“Lucky to have been where I have been”
“Lucky to be coming home again”
“Oooh…”
Gue udah gak peduli sama rasa malu, saat ini gue konsentrasi penuh ke lagu, gue mengganggap saat ini hanya ada gue sama Thara, dan gue sedang menyatakan perasaan gue lewat lirik yang gue nyanyiin dengan sepenuh hati. Dan Thara pun tampaknya juga melakukan hal yang sama, dia tampil maksimal, suaranya terdengar sangat indah. Anehnya, penonton pun hanya terdiam, mungkin mereka terhipnotis dengan penampilan kami, mereka ikut terhanyut dalam alunan musik.
Beberapa saat kemudian, penampilan kami pun selesai. Penonton pun melemparkan tepuk tangan, mereka melakukan standing applause, yang sebenarnya karena mereka semua memang berdiri dan tidak disediakan tempat duduk di depan panggung. Diantara riuh ricuh penonton tiba-tiba terdengar kericuhan lain di samping panggung, dimana terdengar teriakan, “TEMBAK! TEMBAK! TEMBAK!”, “Ayoo To, tembak dia!”. Mereka adalah temen-temen sekelas gue. Lalu karena teriakan mereka yang memang sangat keras, jadinya makin banyak lagi yang meneriakan hal yang sama, kayaknya hampir semua penonton yang ada di depan panggung juga ikut meneriakannya. “AYO TEMBAK!”, “HAJAR!”, “TEMBAK BOS!” adalah beberapa macam teriakan yang terdengar dari arah penonton.
Gue melirik ke arah Thara, tampaknya dia kaget dengan situasi ini, dia cuma membalas menatap gue dengan tatapan bingung. Lalu tanpa menunggu lebih lama lagi, gue sambar tangan kanan Thara, dan gue berlutut di depan dia. Yah, emang gue akuin, keadaan sekarang udah kayak di sinetron-sinetron, tapi gue udah gak peduli, udah gue buang semua rasa ragu dan rasa malu, selain karena gue rasa saat ini gue udah gak bisa mundur lagi, gue harus mengatakannya sekarang juga!
Lalu gue mengeluarkan sebatang bunga Mawar Merah yang dari tadi gue sembunyiin di kantung celana gue, dan gue berikan pada Thara. Thara yang tadi kaget karena tingkah gue yang tiba-tiba berlutut di depan dia, menjadi tambah kaget. Sementara penonton makin riuh dan heboh karena melihat pertunjukan ekstra dari penampilan kami. “Jadi…lo udah ngerencanain ini sama temen-temen lo?”. Gue cuma membalas dengan tersenyum, lalu Thara pun mengambil bunga dari genggaman tangan gue, dan membalas juga senyum gue. Penonton menjadi semakin heboh, berbagai macam teriakan dan siulan terdengar dari arah mereka. Lalu gue berdiri dan mengambil mic yang tadi gue gunakan untuk nyanyi, keramaian dari penonton pun sedikit demi sedikit menghilang, mereka seolah memberikan gue kesempatan untuk bicara. Gue berdiri di depan Thara, menatap matanya, sementara tangan kiri gue masih menggenggam tangan kanannya. Gue mengambil nafas, lalu berkata dalam hati kalau inilah saatnya.
“Thara, waktu itu lo pernah nanya ke gue kenapa gue milih lagu tadi buat kita bawain malam ini,” kata gue memulai pidato cinta gue. “Itu karena, gue merasa lagu itu cocok sama perasaan gue selama ini. Gue merasa beruntung karena punya sesosok cewek yang sempurna, yang menjadi sahabat baik gue selama ini. Hari-hari gue menjadi indah karena kehadiran lo.”. Gue masih menatap mata Thara dalam, genggaman kia berdua menjadi semakin erat. Gue berhenti sebentar untuk mengambil nafas, lalu kembali melanjutkan pidato cinta gue, “Dan gue harap, hari-hari seperti ini akan terus berlanjut dan akan menjadi lebih indah, dengan lo menjadi kekasih gue. Lo mau gak?”. Penonton masih terdiam, hanya terdengar beberapa siulan dan beberapa orang yang berteriak “TERIMA! TERIMA!”. Lalu gak butuh waktu lama buat Thara untuk menjawab proposal gue, dia menarik tangan gue yang memegang mic dan mengarahkan ke depan mulutnya. “Iya, gue mau!”. Setelah mendengar jawaban dia gue ngerasa suatu perasaan yang belum pernah gue rasain sebelumnya, sebuah perasaan ketika rasa cinta kita diakuin oleh orang yang kita sayang. Gue merasa sangat bahagia. Lalu tanpa diduga-duga Thara meluk gue, langsung gue balas pelukannya. Dan inilah kami, berpelukan erat di atas panggung dengan diiringi alunan tepuk tangan dan semua kehebohan dari penonton.
Di belakang panggung, ternyata temen-temen band gue udah berkumpul di sana, gue baru inget kalau gue harus tampil lagi setelah melihat mereka. “Weisss, selamat ya, bro! That was quite a show!” kata Wawan ke gue, lalu disusul ucapan selamat dari temen-temen gue lainnya. Lalu kami berlima pun naik ke atas panggung memenuhi panggilan MC. Thara menyemangati gue dan berkata kalau dia akan menonton dari depan panggung.
Penampilan kami dibuka dengan membawakan lagu “Diam Tanpa Kata” dari band D’Masiv. Penonton pun berjingkrak-jingkrak mengikuti beat lagu. Lalu sebelum lagu kedua dimulai Wawan berkata ke penonton, “Tadi kita baru saja menyaksikan keajaiban dari cinta, dua orang anak muda yang saling mencintai dipersatukan di bawah alunan musik, di atas panggung ini.” penonton pun kembali bersorak, lalu Wawan melanjutkan kata-katanya, “Maka dari itu, lagu berikutnya yang akan kami bawakan, kami persembahkan untuk mereka semua yang percaya bahwa cinta itu indah. Khususnya untuk kedua sahabat kami yang baru saja bersatu malam ini!”. Gue tersenyum mendengar kata-kata Wawan, lalu gue menatap Thara yang berdiri di antara kerumunan penonton, dia pun sedang tersenyum melihat gue. Lalu lagu kedua, “Kau Dan Aku” dari Nidji pun kami bawakan.
Penampilan kami pun kembali mampu menghipnotis penonton, sebagian dari mereka ikut menyanyikan liriknya. Dan hebatnya lagi, ketika reff pertama, penonton di depan panggung mundur untuk membentuk sebuah lingkaran yang cukup luas, yang kemudian diisi oleh beberapa pasangan yang berdansa di sana, entah mereka memang beneran pasangan atau hanya teman yang ingin sekedar berdansa. Lalu di jeda sebelum masuk ke reff kedua Wawan menghampiri gue dan berkata ke gue, “To, mending Gitarnya kasih ke gue, lo turun aja gih, ikut goyang sama cewek lo!”. Gue menoleh dan tersenyum ke Wawan, lalu gue berikan Gitar gue ke dia. Gue langsung turun dari panggung dan menuju ke depan panggung, di sana Thara udah menunggu gue dengan senyuman dan menjulurkan tangannya. Gue langsung menyambar tangannya, lalu kami berdua pun ikut bergoyang di antara pasangan-pasangan lain di tengah kerumunan penonton, sambil diiringi lagu yang mengalun dari atas panggung. Gue sama Thara berdansa di dalam indahnya bahagia rasa cinta, kami berharap kata-kata yang sedang kami dengar saat ini akan meresap ke dalam hati kami, lalu menjadi janji tak tertulis yang akan menjaga hubungan kita agar abadi untuk selamanya.
“Kau dan aku selalu untuk selamanya…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar